Kamis, 03 Mei 2012

MAWASS Edisi 12 telah terbit


Telah terbit Edisi 12,..dapatkan pada Komsos Wilayah masing-masing, atau pesan sekarang juga ke: mawass@parokisalibsuci.org,...simak pula isinya di : www.parokisalibsuci.org

Kamis, 05 Mei 2011

CUKUP 8 HARI untuk MENJUNGKIR-BALIKKAN DUNIA

PRAWACANA

Sepanjang peradaban manusia yang bisa kita lacak bukti-buktinya, ada banyak peristiwa yang membawa perubahan yang mencolok (signifikan) bagi kehidupan manusia. Peristiwa itu bisa karena peritiwa alam, mulai pra-zaman es, sampai melelehnya es yang menenggelamkan beberapa bagian bumi; ataupun peristiwa meletusnya gunung berapi: Krakatau misalnya, yang dampaknya terasa sampai ke Amerika; atau letusan yang mengubur kota Pompei.
Atau juga yang karena “tindakan” manusia, misalnya: ekspansi Kerajaan Romawi ke sekian banyak belahan bumi yang jejak budayanya masih terasa hingga saat ini; atau pembangunan Tembok China” yang spektakuler; atapun peristiwa Holocaust, yang menyebabkan sekian juta orang Yahudi kehilangan nyawa. Ada peristiwa Kemerdekaan Negara Amerika, yang hawa-kekuasaannya terasa ke seluruh penjuru bumi hingga saat ini. Ada pula peristiwa pengeboman kota Hiroshima dan Nagasaki dalam Perang Dunia II, yang pada saat itu dianggap bisa menahan dominasi kekuatan militer Jepang di dunia ini.

Di antara sekian banyak peristiwa “karena manusia” itu, ada satu peristiwa unik yang tak-tertandingi, yang melibatkan “seorang manusia” bernama: Yesus bin Yusuf.


PERISTIWA YESUS

Sejarah mencatat (bukan fiktif, bukan imajiner), bahwa di daerah yang kini bernama Palestina, pada sekitar abad I, lahir seorang yang “diberi nama”: YESUS. Dari segi manusiawi, tidak ada yang istimewa dari seorang Yesus, sampai saat menjelang wafat-Nya. Baru sekitar 3 tahun menjelang wafat-Nya itulah orang baru melihat dan memperhatikan: siapakah “orang yang benama Yesus ini”. Dia yang dikenal sebagai seorang “Rabi, Guru”, Dia mulai mengajar.

Ternyata apa yang diajarkan-Nya bisa mendatangkan “hawa / semangat baru” bagi bangsa Yahudi. Dia disanjung-sanjung sebagai: “Sang Pembebas”, yang akan membawa kebebasan dan kemerdekaan bagi mereka yang saat itu terjajah oleh Kekaisaran Romawi. Bahkan, dari segi keagamaan, dengan merujuk pada nubuat para nabi, Yesus dipercaya sebagai Sang Mesias yang dijanjikan oleh Allah.

Keberadaan Yesus itu, pada saat yang sama, justru “contra-productive” bagi para ahli agama, Ahli Taurat dan orang Farisi, yang takut akan kehilangan “status quo”, karena apa yang diajarkan oleh Yesus dikhawatirkan akan menggerogoti posisi (dan kenyamanan) mereka sebagai orang / kelompok yang ”harus dihormati” oleh orang-orang Yahudi.

Kiprah Yesus dan keterusikan para Ahli Taurat serta orang Farisi itupun akhirnya mau tidak mau melibatkan penguasa: Herodes dan Pontius Pilatus. Mereka berkepentingan, agar tidak terjadi pemberontakan di wilayah kerja mereka, yang bisa membahayakan kedudukan / kekuasaan mereka.

Pada menjelang “puncak”, kekuatan spiritual (kaum agamawan) dan kekuatan sekuler-duniawi (Romawi) “bekerjasama” untuk melenyapkan sosok Yesus. Durasi dari proses puncak peristiwa itu dapat dikatakan terjadi hanya 8 hari, suatu masa yang sangat pendek untuk suatu peristiwa dramatis yang dampaknya “menjungkir-balikkan” dunia.

Cukup 8 hari. Dari hari Pertama (kita kenal dengan: “Minggu Palma”), di mana Yesus disambut sebagai Raja, Putra Daud; bergeser ke hari ke 6, Jumat, di mana orang-orang yang sama telah menuntut Kematian-Nya, bahkan kematian yang hina, bak seorang penjahat; sampai pada Kebangkitan-Nya, pada Minggu Paskah, hari kedelapan.


DARAH MARTIR yang MENYUBURKAN BENIH IMAN

Yesus telah wafat, dan Dia sudah bangkit. Namun itu bukan berarti semua orang yang mendengar berita kebangkitan mau menerima dan percaya. Bahkan para pewarta iman tentang “Khabar Gembira, Khabar Keselamatan” itu dikucilkan, dikejar-kejar, bahkan sampai mengikuti jejak Sang Guru: disiksa dan dibunuh.

Nyawa Stefanus-pun telah melayang demi iman dan kesaksiannya. Ia tercatat sebagai martir yang pertama. Kemartiran Stefanus membuat penyebaran yang lebih cepat dari pengikut Yesus ke luar wilayah Yerusalem, bahkan ke luar daerah Palestina.

Saulus, seorang Farisi dari garis keras, memburu pengikut Kristus sampai di manapun tempat yang mampu ia jangkau. Jauhnya jarak Yerusalem ke Damaskus-pun bukan penghalang bagi niatnya untuk menangkap pengikut Yesus.

Titik-balik yang dramatis terjadi pada diri Saulus. Metanoia total membuatnya menjadi “Paulus, Sang Rasul Agung” yang tidak kenal lelah, yang tidak kenal takut, demi imannya akan Kristus Yesus yang telah bangkit. Paulus bahkan menjadi “rasul bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi”. Bersama Petrus, Sang Batu Karang, Paulus dipandang sebagai “Sokoguru Gereja”. Semangatnya ditularkan kepada semua pengikut Yesus, baik dengan kedatangannya secara fisik mengunjungi mereka, maupun dengan surat-suratnya yang tajam manakala ia tidak dapat datang untuk menguatkan dan menghibur saudara-saudaranya dalam iman, pada saat mereka memerlukan. Perjuangannya adalah perjuangan dengan segenap hati, segenap tenaga, segenap pikiran dan segenap hidupnya. Perjuangannya adalah perjuangan yang menantang maut, dan berakhir dengan mulia di Roma. Darahnya telah tertumpah di “ujung dunia”. Kemartiran Paulus tidak membuat surut semangat dan iman pengikut Yesus dari Nazaret, malahan semakin membuatnya berkorbar.
Darah para martir telah tertumpah. Tapi itu tidak sia-sia. Darah para martir itu telah menyuburkan benih iman Gereja sepanjang masa.

GEREJA SEBAGAI SUATU ORGANISMA

Dengan dasar iman yang sama, para pengikut Kristus bersatu, dalam ikatan persaudaraan. Mereka menamakan diri sebagai: Kristen (Chritianos = milik Kristus).
Ikatan itu terus tumbuh, bukan sekedar sebagai suatu organisasi, melainkan sebagai organisma, yang selalu dan terus tumbuh dan berkembang. Bahkan tumbuh-kembang-nya tidak terhambat oleh penyesat-penyesat (bidaah) sepanjang zaman, kekuasaan politik, maupun perusakan-perusakan, baik dari luar maupun dari dalam. Seolah-olah hambatan itu justru membuat organisma itu semakin menjadi lebih dewasa, lebih tangguh.

Dua peristiwa besar di dalam organisma, memang pernah menjadi peristiwa yang menyakitkan. Skisma Timur yang bermula dari Konsili Kalsedon (541), berpuncak pada “perpisahaan” pada tahun 1054, seolah memunculkan “dua wajah Kekristenan”; Kristen Barat dan Kristen Timur.
Yang lainnya: Gerakan Reformasi yang dimotori oleh Martin Luther (1517), dengan “95 Protes”nya, seolah menampar wajah organisma itu. Gerakan Reformasi melahirkan “agama baru”, yang tidak lagi berada di bawah otoritas Gereja Roma. Dan hingga saat ini “Gereja Protestan” berikut seluruh perkembangan kelompok (denominsasi) yang muncul darinya, tetap sebagai “lembaga yang terpisah” dari Gereja yang “Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik”.


ECCLESIA SEMPER REFORMANDA

Perkembangan zaman telah membawa banyak perubahan pada pola pikir serta peradaban manusia. Seiring dengan itu, Gereja Krists tetap eksis. Tentu, dengan segala perjuangannya. Perjuangan-perjuangan Gereja itu terus berlangsung, mulai dari Gereja Perdana, era Bapa Gereja, abad pertengahan, masa polaritas kekuatan politik Timur – Barat, yang telah mulai nampak pada akhir abad XIX, sampai zaman post-modern sekarang ini.

Pola hidup dan cara pandang manusia (life-style; falsafah hidup) pun menjadi anak zamannya. Relativisme, Hedonisme dan sejenisnya, di sisi privat; bersanding dengan: komunisme; chauvinistime serta liberalime di ranah publik.

Bagaimana “agama salib” yang mengarahkan imannya pada “sengsara, wafat dan kebangkitan” bisa mampu bertahan di tengah aneka pola hidup seperti di atas?
Tentu itu bukan hal yang mudah.
Gereja, sebagai satu organisma juga harus mau, sanggup untuk berubah dan mengubah paradigmanya, senantiasa dan terus-menerus, tanpa mengubah dasar dan nilai hakiki imannya. Ecclesia semper Reformanda.

GEREJA BERHADAPAN DENGAN MULTI-NILAI

Gereja, sebagai persekutuan umat Allah, bukan hanya “mau” berubah”. Lebih dari itu, tidak dapat disangkal, bahwa sampai saat ini Gereja masih dianggap sebagai suatu kekuatan yang mempunyai “nilai tawar” yang sangat tinggi, baik dalam ranah moralitas maupun politik.

Runtuhnya komunisme pada abad XX tidak terlepas dari peranan Gereja. Gereja juga menjadi “garda” yang secara frontal berhadapan dengan para pencinta “kebebasan tanpa batas”. Perkawinan sejenis (homo, lesbian) tidak pernah mendapat restu, bahkan ditentang oleh Gereja, sehingga perkembangan idealisme mereka terhambat.
Di pihak lain, hegemoni politik, yang semata-mata berdasarkan kekuatan baik ekonomi maupun persenjataan juga merasa mendapat hambatan dari Gereja.
Penelitian-peneltian di bidang ilmu pengetahuanpun seolah diawasi oleh Gereja.

Dihambat, tidak direstui, diawasi. Itulah situasi nilai-nilai dunia modern berhadapan dengan Gereja.
Apakah memang demikian?

Mari kita berpikir jernih.
Apa yang dilakukan Gereja pasti tidak bergeser dari apa yang diajarkan oleh Yesus. Elastisitas dalam prinsip “Ecclesia semper reformanda”, tidak pernah pernah membuat Gereja meninggalkan harkat, esensi dan berharganya hidup manusia, terutama di bidang moral.
Itulah yang disuarakan dan senantiasa diperjuangkan oleh Gereja.

Ide-ide komunisme yang pernah berkembang telah terpatahkan dengan adanya campur-tangan Gereja.
Prinsip “ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan” (misalnya: dalam Teori Darwin, Klonning, Keluarga Berencana) harus merevisi pandangannya, karena Gereja tetap memperhadap-kannya dengan moralitas.
Pendewaan ilmu pengetahuan dan rasionalitas juga tersandung oleh Gereja.
Invasi militer Amerika Serikat ke dunia Timur Tengah pun terganjal oleh Gereja.
Nilai-nilai “kemakmuran dan keadilan” yang diagendakan oleh negara-negara maju-pun dijungkir-balikkan oleh Gereja.
CUKUP 8 HARI . . . .

“Peristiwa Yesus” berlangsung sangat singkat, hanya 8 hari. Tapi dampaknya sangat terasa bahkan hingga saat ini. Dari “peristiwa Yesus” itu lahirlah “Gereja” yang sampai sekarang tetap eksis, meskipun melalui pasang-surut yang seringkali tidak terduga.

“Keberadaan” Gereja itu bukanlah untuk dirinya sendiri. Keberadaan Gereja, sejak awal pada masa dominasi kekuasaan Romawi, hingga sekarang, pada zaman post-modern ini, ini tetap diperhitungkan, bahkan sangat mewarnai segi sosial-politik kehidupan bernegara, juga sangat berpengaruh pada kehidupan moral pribadi manusia. Banyak nilai-nilai duniawi-sekularisme yang telah dibangun dan diperjuangkan, akhirnya dipatahkan dan dijungkir-balikkan oleh Gereja.

Ada satu hal penting yang sangat perlu kita perhatikan. Nilai-nilai hedonisme, relativisme, atau isme-isme duniawi yang lain, ternyata juga telah merasuki jiwa dan pola hidup umat, anggota Gereja itu sendiri. Hal itu merupakan “perusakan dari dalam” pada era post-modern ini. Kekuasaan uang, misalnya, seringkali telah menisbikan iman dan ajaran. Ini adalah sa;ah satu wajah perjuangan Gereja.

Perlawanan selalu berasal dari luar dan dari dalam, mulai dari masa Gereja Perdana, sampai ke Gereja post-modern ini. Namun demikian, kita melihat bukti nyata, bahwa Gereja masih (dan pasti akan terus) eksis.
Memperhatikan hal ini, mau tidak mau kita harus menyadari, bahwa Gereja tidak berjalan dengan kekuatan duniawi. Ada kekuatan lain yang mendampingi Gereja. Dan bagi kita, tentu itu bukan sesuatu yang sulit dipahami, bukan juga suatu yang aneh. Tentu kita masih ingat apa yang dikatakan oleh Yesus, bahwa Gereja-Nya adalah Gereja yang didirikan di atas batu karang. Dan tentu kita mengimani, bahwa Dia akan menyertai kita, Gereja-Nya, sampai ke akhir zaman, sampai Dia datang kembali.
Dengan iman itu, Gereja tetap mewartakan Khabar Gembira, tentang Keselamatan yang datang dari Dia, Sang Pemilik.

AKTUALISASI

Akhirnya, kita perlu menyadari, bahwa kita, masing-masing dan semua, adalah Gereja. Gereja bukan hanya biarawan-biarawati,pastor, uskup ataupun Paus saja. Maka, perjuangan Gereja adalah perjuangan kita semua. Kita masing-masing dan semua. Maka, setiap jiwa Kristen yang lemah berarti melemahkan perjuangan Gereja. Dan juga, setiap jiwa Kristen yang tidak menghayati spiritualitas Kristiani, adalah pengeroposan dan penggerogotan organisma Gereja.

Dalam beberapa waktu terakhir ini, Gereja merayakan Hari Raya Paskah, PUNCAK Iman, dan Puncak Liturgi Gereja.
Dimulai dari Masa Prapaskah, masa Paskah hendaknya menjadi semangat baru bagi kita, mengingat kembali perjuangan, penderitaan, dan pengorbanan total Sang Guru, sampai wafat-Nya di kayu Salib.
Dan hendaknya Kebangkitan-Nya senantiasa menyuburkan harapan kita dalam mengikuti Dia.

Salib, lambang kehinaan, telah dijungkir-balikkan-Nya menjadi Tanda Mulia.
Dan di alam nyata, alam realita ini, dengan kesetiaan dalam mengikuti-Nya, seharusnya “Penyangkalan diri” kita mampu menjungkir-balikkan nilai-nilai “wajar” yang “ditoleransi” oleh masyarakat post-modern ini: egoisme, kesombongan individal, keangkara-murkaan.
Dan semangat berkorban serta melayani, seharusnya mampu menjungkir-baikkan tuntutan untuk dilayani dan keangkuhan diri.

REFLEKSI

Masihkah kita menghayati, bahwa penyangkalan diri adalah lebih mulia daripada egoisme?
Masihkah kita menyadari bahwa Salib Kayu lebih berharga daripada sebongkah emas-berlian?
Masihkah kita mengimani bahwa Kebangkitan adalah bagian dari Sengsara dan Wafat?
Masihkah kita berjalan mengikuti Yesus, bukan hanya melihat-Nya dari jauh saja, yang menghindar dan menyimpang di kala menghadapi kesulitan, penderitaan dan kepedulian kepada sesama?

Kita telah diselamatkan, kita telah ditebus, kita telah menjadi milik-Nya. Tiada balas-jasa yang layak yang dapat kita persembahkan bagi Dia.
Sedikit yang mau dan mampu kita lakukan bagi orang lain, hanyalah sekedar sebagai ucapan terimakasih kita kepada-Nya, BUKAN SEBAGAI BALAS-JASA, BUKAN JUGA SEBAGAI NILAI BAYAR.

Deo Gratias, Terimakasih Tuhan.
Masa Paskah, (Filipus SS.)

Minggu, 17 April 2011

BERHALA ITU BERNAMA EKARISTI ?

BERHALA ITU BERNAMA : EKARISTI ?

Di tengah protes kita membaca judul itu, mari kita introspeksi. Kalau mau jujur, sadar atau tidak sadar, banyak di antara kita yang “terjebak” dalam “keberhalaan ekaristi”. Bukan Ekaristi-nya yang berhala, melainkan sikap batin kita, disposisi batin kitalah yang menjadikan Ekaristi itu sebagai berhala, persis sebagaimana yang dituduhkan kepada kita. Bukan Ekaristi-nya yang salah.

Artikel-artikel dalam buku ini memaparkan dengan baik dan jelas mengenai serba-serbi Ekaristi.

Mulai pendasarannya yang berakar pada Seder.

ke inti tema pokok, yang memperingatkan kita agar tidak menjadikan Ekaristi sebagai suatu BERHALA, berlanjut ke hakikat Tubuh dan Darah Kristus, dan sampai ke refleksi penulis, yang mengajak kita ke ranah spiritual Ekaristi, sebagai puncak dan sumber hidup Kristiani.

Akhirnya, kita, bersama-sama, sampai pada akhir buku ini, dengan bersama merenungkan kata-kata akhir dari Perayaan Ekaristi: “Ite, Missa Est. Mari pergi, kalian diutus”.

Kita diutus. . . . . Diutus untuk apa . . . . ? Siapkah . . . ? Apa bekal kita . . .?

Buku ini dapat dipandang sebagai suatu bentuk “katekese”, yang diterbitkan sebagai salah satu bentuk “ikut ambil-bagian” dalam Tahun Katekese yang dicanangkan oleh Keuskupan Surabaya pada tahun 2011 ini. Harapannya, tentu saja setiap pembaca yang serius dan rendah hati akan dapat memahami arti dan makna Ekaristi dengan baik. Sehingga karenanya, mereka dengan mudah bisa mempertanggung-jawabkan iman terhadap segala tuduhan miring terhadap Ekaristi.

Sekaligus juga sebagai dasar untuk memahami misi perutusan serta mendapatkan bekal untuk itu.

Hidup Kristiani adalah hidup misoner.

Misi ke dalam diri sendiri, dan misi kepada sesama.

Selamat membaca . . .

AMDG



Suplemen Spesialnya MAWASS yang Spektakuler , yang bertitel :

“BERHALA ITU BERNAMA EKARISTI“.

sangat di butuhkan bagi Kesehatan & Kesegaran Iman kita, di jaman yang serba dipenuhi dengan Radiasi, Kontaminasi & Polusi seperti saat ini

Awas !!!…cetakan terbatas, bagi yang berminat harap segera menghubungi, Sdr. Set Sandy (031) 7002 0366, Stephanus Yuli S 081 217 88 701


Selasa, 04 Januari 2011

Lagu Gregorian,..diteruskan atau dimusnahkan


Kalau melihat perkembangan umat katholik di Indonesia dari dulu sampai sekarang, banyak perubahan yang dialami. Hal ini terbukti bahwa dulu, pertama kali agama katholik masuk di Indonesia yang dipelopori oleh misionaris Franciscus Xaverius di Maluku, perayaan Ekaristi atau misa kudus dilaksanakan dalam bahasa Latin. baik Tata Perayaan Sabda, Tata Perayaan Ekaristi maupun nyanyiannya. Nyanyian yang kita kenal dengan nama Lagu Gregorian, jaman dulu selalu dinyanyikan penuh dengan khidmat dan nampak begitu sakral, dan umat yang hadir dalam perayaan Ekaristi, merasa nyaman dan penuh dengan kedamaian.
Setelah Konsili Vatikan II, salah satu perkembangan yang ada, sebagaimana yang telah dirintis dalam gerakan liturgi, adalah bahwa: “Liturgi bukanlah perorangan, melain-kan perayaan Gereja sebagai sakramen kesatuan umat kudus yang berhimpun dibawah para Uskup (Uskup yang menjalankan tugas gembala di daerah masing-masing keuskupan).” Konsekuensinya adalah bahasa Latin diganti dengan bahasa pribumi (lokal, setempat).
Perkembangan liturgi di Indonesia dapat kita lihat, di mana ada kreativitas yang cukup tinggi untuk mengembang-kan inkulturasi (sosio budaya) sesuai dengan tradisi yang dipunyai oleh masing-masing suku. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa lagu-lagu dari hasil lokakarya di Indonesia mendapat perhatian di dunia internasional pada tahun 1989. Lagu tersebut antara lain: “Jiwa Kristus“ (MB. 697) hasil loka-karya Komposisi Atambua/Timor, “Cahaya Suci“ (MB. 220) ciptaan Paul Widyawan, yang diperkenalkan oleh kelompok koor Exultate Domino Bandung dalam lomba koor di Roma, begitu pula beberapa lagu inkulturasi yang terpilih dari Mentawai, Batak, Kalimantan, Sunda, Jawa, Flores. Lagu-lagu ini dipakai untuk Tour Kesenian Eropa dari koor Vocalista Sonora tahun 1992 di bawah pimpinan Paul Widyawan dan Romo Karl-Edmund Prier, SJ. (Musik Gereja Jaman Sekarang oleh Karl-Edmund Prier, SJ.).
Di lain pihak perkembangan nyanyian liturgi yang mempunyai gaya sesuai dengan suku dan bangsa tersebut, baik dalam bahasa Indonesia maupun dengan bahasa daerah yang dipunyai bangsa Indonesia ini, juga diimbangi dengan aktivitas umat katholik, yang semakin berkembang, baik dalam aktivitas pelayanan gereja yang antara lain dengan terbentuknya kelompok koor, pemazmur, prolektor, dan lain-lainnya.
Yang patut untuk kita pikirkan dan renungkan, apakah perayaan Ekaristi dengan memakai bahasa Latin, terutama nyanyian Gregorian yang dikenal begitu agung dan sakral ini perlu di lestarikan (dikembalikan ke asal mula seperti yang dipakai dalam perayaan Ekaristi di Vatikan)? Atau sebagian saja yang kita pakai seperti Ordinarium, Credo, Pater Noster sebagai nyanyian umat. Jawabannya tentu harus mempertimbangkan, karena ada umat yang tahu arti nyanyian Gregorian dengan bahasa Latin, dan ada pula umat yang tidak tahu sama sekali bahasa Latin.
Satu hal lain lagi, adalah mengenai nyanyian Gregorian yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Saya rasa ini kurang pas. Menterjemahkan nyanian Gregorian dari bahasa Latin ke bahasa Indonesia memang bagus. Tetapi akibatnya, nyanyian tersebut akan berubah, misalnya karena ada penambahan not yang disesuaikan dengan syair terjemahan dalam bahasa Indonesia.
Yang perlu diperhatikan, dalam menjalankan tugas pelayanan koor di gereja, adalah: bahwa koor bukan merupakan Concerto ecclesiastica (konser gerejani). Koor ini harus mengambil bagian dari tugas pewartaan Gereja melalui musik dan nyanyian iman yang ditafsirkan, diterangkan bagaimana iman umat semakin diperdalam, kesatuan dan keterlibatan umat dapat diungkapkan dalam rasa sesal dan rasa gembira. Maka koor ini berfungsi sosial, mereka bernyanyi bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk jemaat yang hadir dalam perayaan sabda maupun perayaan Ekaristi. Koor bukan merupakan suatu pentas lagu-lagu, melainkan berusaha untuk membantu umat untuk mengungkapkan imannya melalui nyanyian dan musiknya.

AYS, CHOIR ET LITURGIA

Selasa, 21 Desember 2010

Segera Terbit MAWASS Edisi 8



Yesus datang lagi,...akankah kita bunuh lagi ???

A. WACANA TEMA
Natal telah tiba.
Keceriahan dan kegembiraan Natal terasa hampir di seluruh belahan bumi, dari kota sampai pelosok. Dari mal-mal sampai di dusun-dusun.
Mulai anak-anak sampai lansia, pria maupun wanita, larut dalam pesta setahun sekali itu.
Itulah Natal bila dilihat dari hal yang indrawi.
Bagaimana dengan sisi iman?

B. ADVENT SEBAGAI AWAL
Kalender Liturgi Gereja Katolik menentukan, bahwa selama masa dalam 4 hari Minggu sebelum tanggal 25 Desember, adalah masa Advent. Pada tahun 2010 ini, masa Advent dimulai pada tanggal 28 Nopember. Tanggal tersebut sekaligus adalah sebagai permulaan tahun Liturgi. Jadi ada perbedaan dengan penanggalan umum, yang setiap tahun dimulai pada tanggal 1 Januari.
Masa Advent adalah masa penantian, menantikan (peringatan) lahirnya Yesus.
Dan karena yang dinantikan adalah sosok yang istimewa, maka persiapan yang harus dilakukanpun haruslah persiapan yang istimewa.
Karena yang akan datang adalah Yang Mahasuci, maka persiapan itu pada ghalibnya adalah untuk mematut diri, membersihkan diri, membersihkan hati dan jiwa dari noda-noda dosa.
Sehingga seringkali orang mengatakan bahwa masa Advent adalah masa pertobatan.
Seiring dengan hal itu, maka warna liturgi dari masa Advent adalah ungu.

C. SANG PENYELAMAT ITU TELAH DATANG
Seiring dengan berjalannya waktu, maka masa Advent-pun berakhir.
Namun, seringkali berakhirnya masa Advent itu betul-betul karena tanggal 25 Desember telah tiba. Bukan karena telah tuntasnya pertobatan kita. Bukan juga karena kegembiraan dari harapan yang terkabulkan.
Lagu masa Advent: “O datanglah Imanuel . . .” dengan begitu saja tergantikan oleh lagu-lagu masa Natal: “Gembala kemari, cepat-cepat, pergilah ke Betlehem...”.
Kita larut dalam 'suasana' bahagia dan gemerlap lampu 'Pohon Terang'.
Bila masa Advent dilalui begitu saja tanpa penghayatan yang benar, maka sudah pasti juga tidak ada pertobatan yang sejati. Dan dengan demikian, bagaimana mungkin ada 'Penantian' dan 'Harapan' yang sebagaimana mestinya?
Yang ada hanyalah sekedar jargon pemanis bibir penyedap suara: tobat, harapan, Sang Juru Selamat, dan lain-lain.
Mari kita bertanya kepada hati nurani kita: Betulkah jiwa kita haus akan pertolongan dan keselamatan yang dari Allah? Betulkah hidup kita memerlukan Sang Juru Selamat?
Dan karenanya, kita juga perlu bertanya: Apakah kita sudah melakukan pertobatan yang sejati?
Perlu kita menyadari, bahwa pertobatan yang sejati mengandung 3 esensi: Kasih akan Allah (bukan 'takut masuk neraka'), penyesalan, dan niat untuk tidak mengulangi berbuat dosa lagi. Tanpa pertobatan yang sejati, mustahil kita bisa menghayati makna NATAL dengan benar. Artinya, hari Natal, tanggal 25 Desember 2010 hanya merupakan 'Kedatangan' Sang Juru Selamat yang kesekian kalinya. Hanya begitu saja. Setelah itu, tanggal 26 Desember dan hari-hari berikutnya, kitapun sudah melupakan hari Natal itu.

D. JANGAN TERJEBAK PADA 'SEKEDAR' RITUAL
Kembali pada tahun Liturgi.
Dalam tahun liturgi, ada 2 peristiwa penting yang diperingati. Yaitu Natal, peringatan kelahiran Yesus, dan Paskah yang memperingati kebangkitan Yesus.
Bagi umat Katolik, ada beberapa peristiwa penting sekitar Paskah. Ada ritual Jalan Salib, liturgi Minggu Palem, Hari Kamis Putih, Tuguran, serta Jumat Agung.
Tanpa mengaburkan berharganya nilai Kebangkitan Yesus, Hari Jumat Agung merupakan hari yang penting bagi kita.
Pada hari itu kita memperingati saat-saat sengsara Yesus, saat penyiksaan Yesus, saat Yesus dihina, saat Yesus disalibkan, saat Yesus dibunuh.
Mengikuti upacara Hari Jumat Agung, sungguh bisa membuat hati kita trenyuh, bahkan sampai meneteskan air mata.
Nah, sebagaimana pertanyaan introspektif untuk masa Natal, kitapun perlu bertanya kepada hati nurani kita: Mengapa Yesus mesti mengalami penderitaan yang demikian berat, mengapa Yesus harus dibunuh....????
Tanpa menghayati makna Natal dengan baik dan benar, mustahil kita bisa menghayati makna sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus.
Dan tanpa penghayatan yang benar, berarti kita hanya 'ikut' dalam upacara-upacara itu. Alhasil, kitapun terjebak pada hal-hal yang 'sekedar' ritual belaka. Betul-betul hanya 'sekedar' ritual, karena iman kita tidak bertumbuh dan berkembang karenanya.
Kita hanya tahu bahwa Hari Natal itu adalah saat Yesus: LAHIR, saat Yesus DILAHIRKAN. Dan dengan demikian, kitapun hanya tahu, bahwa Hari Jumat Agung adalah saat Yesus MATI, saat Yesus DIBUNUH. Konsekwensi logisnya, kitapun terjebak dalam konsep LAHIR – MATI, DILAHIRKAN – DIBUNUH.
Sekilas, pemikiran yang demikian memang dapat dikatakan sangat ekstrem. Tapi bila kita tidak menghayati makna Natal dan Paskah sebagaimana mestinya, bukankah kita harus mau mengakui, bahwa kita terjebak dalam ritual LAHIR – MATI, DILAHIRKAN – DIBUNUH yang terus diulang setiap tahun?
Memang, kita tidak pernah bisa ‘membunuh’ Yesus secara riil. Tapi, ‘membunuh’ bisa dilakukan bukan hanya sekedar menusuk dengan pisau atau menembak dengan pistol.
Dalam kaitan dengan iman kristiani, Nabi Yesaya dengan jelas mengatakan, bahwa: dosa-dosa kitalah yang menyebabkan Yesus tersalib (bdk. Yes. 53:4).
Ketidak-sadaran dan ketidak-pedulian (atau bahkan kesengajaan) akan dosa telah membunuh Dia setiap kali Dia hadir lagi setiap tahun dalam Perayaan Hari Natal.

E. WACANA SIKAP BATIN
Kelahiran Yesus di dunia ini adalah suatu tonggak terpenting dalam sejarah umat manusia.
Demikian pula sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Natal dan Paskah adalah dua hal yang tak-terpisahkan. Tak akan ada Paskah tanpa Natal. Dan Natal tanpa Paskah apalah gunanya?
Karenanya perlu ada pemahaman, refleksi yang mendalam dan penghayatan yang benar terhadap kedua peristiwa itu.
Perlu kita bertanya kepada diri kita masing-masing:
-. Apakah setiap hari Natal menjadi saat peringatan hadirnya Yesus dalam kehidupan kita?
Adakah kita dapat merasakan Kasih Allah yang telah memberikan Penyelamat bagi kita?
-. Apakah setiap datangnya hari Paskah kita sadar bahwa dosa manusialah (kita manusia juga, kan?) yang telah ditanggungnya dalam penderitaan?
Adakah kita dapat merasakan kasih Allah melalui pengorbanan Putra-Nya?
-. Apakah kita dapat merasakan Kasih Allah yang setia, yang senantiasa hadir dan menyapa kita dalam sakramen-sakramen-Nya?

Hari Natal telah tiba.
Hari yang mengingatkan kita untuk berbenah-diri lagi.
Mari kita bersuka-cita, karena kita diingatkan lagi dan lagi, bahwa Allah tetap setia kepada janji-Nya untuk menyelamatkan umat manusia.
Berbahagialah kita, karena kita diingatkan, bahwa Yesus tetap menyertai kita hingga akhir zaman.

D e o G r a t i a !!!!!

Minggu, 10 Oktober 2010

Sejarah Doa Rosario

Rata Tengah
I. PENGANTAR

Bulan Oktober adalah bulan yang penuh gairah dalam hidup menggereja. Antusiasme umat berdoa Rosario secara bergiliran dari rumah ke rumah di setiap wilayah atau lingkungan selalu dipadati umat. Devosi yang sehat ini rupanya telah mengakar kuat pada umat. Tak diragukan lagi bahwa ungkapan devosi kepada Bunda Maria yang paling populer dan dicintai dalam Gereja adalah Doa Rosario. Dari generasi ke generasi, Doa Rosario juga telah menjadi ungkapan devosi (hampir) semua paus dan tokoh-tokoh suci Gereja, antara lain: St. Thomas Aquinas, St. Alfonsus Liguori, St. Louis Maria de Monfort, Ibu Teresa Calcuta, dan masih banyak lagi. Namun, tentunya semarak devosi ini perlu mendapatkan penjernihan yang sepatutnya, agar umat tidak terjebak ke dalam spiritualitas yang kerdil, emosional dan dangkal.
Untuk itu, tulisan ini hendak menyajikan tentang Sejarah Doa Rosario. Sebagai pengantar, kami mencoba menulis ulang apa yang pernah dimuat di majalah ini tentang sejarah dari Rosario dari sisi yang sedikit berbeda. Kisah Lepanto yang melegenda kami sajikan, bukan pertama-tama untuk mengusik luka lama dalam hubungan dengan saudara-saudara Muslim, melainkan melihat kenyataan sejarah itu sebagai penekanan akan pertolongan Bunda Maria bagi kita (Maria Auxilium Christianorum). Dan tentunya hal ini sangat mengena bagi sebagian umat yang sangat mengharap pertolongan Sang Bunda, terutama di bulan Rosario ini.Semoga tulisan ini semakin membawa kita semakin mencintai Yesus melalui Maria.

II. SEKILAS SEJARAH PERKEMBANGAN 'DOA ROSARIO'

1. TERBENTUKNYA DOA ROSARIO

Penggunaan “manik-manik” untuk mendaras doa yang diulang-ulang sebagai media meditasi telah dikenal bahkan sebelum masa kekristenan. Di dalam Gereja sendiri hal yang demikian telah dikenal sejak masa-masa awal Gereja. Cara berdoa dengan menggunakan untaian biji-bijian atau simpul-simpul pada tali digunakan untuk membantu orang yang kurang terpelajar di dalam menghitung jumlah Doa Bapa Kami atau Salam Maria yang didaraskan sebagai pengganti 150 Mazmur. Sehingga untaian manik-manik ini kemudian dikenal dengan sebutan “Paternoster,” atau juga dikenal sebagai “brevir (doa mazmur) orang-orang sederhana”
Doa ini berkembang selama beberapa abad. Perkembangan yang cukup pesat terjadi di sekitar abad 12-15. Hingga akhirnya doa 50 kali Salam Maria (atau lebih) didaraskan dan dihubungkan dengan ayat-ayat Mazmur atau ayat-ayat lain untuk mengenangkan “sukacita Maria” dalam hidup Yesus dan Maria.

Menurut tradisi, St. Dominikus Guzman, pendiri tarekat Dominikan (wafat tahun1221) adalah yang mempopulerkan doa ini dan merangkaikan 50 ayat mengenai hidup Yesus dan Maria dengan 50 kali doa Salam Maria. Karenanya bentuk doa ini dikenal sebagai rosarium (“kebun mawar”), yang arti umumnya berarti “bunga rampai” (suatu kumpulan bahan yang serupa). Doa Salam Maria yang diulang-ulang itu adalah bagaikan bunga mawar yang dirangkaikan kepada Bunda Maria. Pada masa ini pula nuansa biblis doa Rosario semakin berkembang dengan ditambahkannya rangkaian peristiwa “dukacita Maria” dan “sukacita surgawi”, sehingga jumlah doaSalam Maria menjadi 150 kali.

• Dikisahkan, bahwa St. Diminikus yang tergerak oleh penampakan Bunda Maria, mewartakan penggunaan Rosario untuk mempertobatkan bidaah Albigenisme (kata Albigensis berasal dari nama kota 'Albi' di Perancis Selatan). Bidaah ini percaya bahwa semua yang jasmaniah adalah jahat dan yang rohaniah adalah baik. Karenanya, inkarnasi Allah Putera tidaklah masuk akal. (Bidaah ini sangat mungkin terengaruh oleh aliran Platonisme, yang mengajarkan bahwa: jiwa terbelenggu dalam tubuh yang jahat). Dan tindakan religius mereka yang paling “luhur” disebut “endura”, bunuh diri untuk membebaskan jiwa dari raga. Mereka juga menentang otoritas manapun yang mewakili suatu kerajaan dunia ini, sebab itu mereka membantai para pejabat kerajaan dan para pejabat Gereja.

Perkembangan selanjutnya, di awal abad ke-15, Henry Kalkar (1408), seorang biarawan Carthusian, mengelompokkan ke-150 kali doa Salam Maria ke dalam beberapa kelompok yang berisi 10 kali doa Salam Maria dengan diawali dengan doa Bapa Kami. Dan hingga pada abad ke-16, struktur lima kelompok misteri dalam doa Rosario telah didasarkan pada tiga rangkaian peristiwa biblis yang sangat erat berkait dengan Bunda Maria dan Yesus, yaitu: Peristiwa Gembira, Peristiwa Sedih dan Peristiwa Mulia.
Dan setelah penampakan Bunda Maria di Fatima (1917), doa yang diajarkan Bunda Maria kepada anak-anak ditambahkan pada akhir setiap misteri, “Ya Yesus yang baik, ampunilah dosa-dosa kami, selamatkanlah kami dari api neraka. Hantarlah jiwa-jiwa ke surga, teristimewa jiwa-jiwa yang amat membutuhkan kerahiman-Mu.”

Dewasa ini, doa Rosario dijunjung tinggi dan dianjurkan sebagai suatu sarana yang efektif bagi pertumbuhan rohani. Banyak orang kudus mendorong pendarasan doa Rosario, termasuk St. Petrus Kanisius, St. Filipus Neri dan St. Louis de Montfort. Paus Leo XIII, yang kerap disebut “Paus Rosario”, menegaskan bahwa doa Rosario sebagai suatu senjata rohani yang ampuh melawan kejahatan (Supremi Apostolatus Officio, 1884).
Paus Pius XI pada tahun 1938 memberikan indulgensi penuh kepada siapa saja yang mendaraskan Rosario di depan Sakramen Mahakudus.

Paus Yohanes XXIII dan Paus Paulus VI juga dikenal sebagai penganjur doa Rosario yang gigih. Buku Pedoman Indulgensi (1969), yang disetujui Paus Paulus VI, memberikan indulgensi penuh “jika Rosario didaraskan di sebuah gereja atau suatu tempat doa umum, atau dalam suatu kelompok keluarga, suatu komunitas religius atau perkumpulan saleh….” (No. 48).
Yang paling akhir, menandai diawalinya 25 tahun masa pontifikatnya, Paus Yohanes Paulus II menerbitkan Surat Apostolik Rosarium Virginis Mariae, di mana beliau menetapkan Peristiwa Cahaya dan mendorong umat beriman agar menggunakan Rosario untuk “bersama Maria, merenungkan wajah Kristus.”

2. ROSARIO DALAM PERANG LEPANTO: MARIA AUXILIUM CHRISTIANORUM

Alkisah, di tengah semakin populernya doa Rosario, di era Paus Pius V, kaum Muslim Turki menyerang Eropa Timur. Tahun 1453 Konstantinopel jatuh ke tangan mereka. Selanjutnya di tahun 1521 Belgrade, Hungaria, juga ditaklukkan. Dan di tahun 1526, mereka telah berada di perbatasan Vienna, Austria sehingga penguasaan Kristen atas Mediterania berada di ujung tanduk. Pada bulan Februari 1570, Siprus jatuh.
Tahun 1571, Paus Pius V mengorganisir suatu armada di bawah komando Don Juan dari Austria, sanak Raja Philip II dari Spanyol. Bala tentara dari Spanyol, Venisia, Roma, Savoy, Genoa, Lucca, Tuscany, Manova, Parma, Urbino, dan Ferrara, dan Malta, membentuk suatu aliansi melawan Turki. Sementara persiapan dilakukan, Bapa Suci meminta segenap umat beriman untuk mendaraskan Rosario dan memohon bantuan doa Bunda Maria di bawah gelar “Bunda Kemenangan”. Kekuatan armada Muslim jauh melampaui armada Kristiani, baik dalam jumlah kapal perang maupun pasukan.

Pada hari Minggu, 7 Oktober 1571, Pertempuran di Lepanto dimulai, dan dalam tempo lima jam, kaum Muslim dikalahkan.
Siang itu, Paus Pius V yang tengah berada dalam suatu rapat, sekonyong-konyong berdiri, menuju jendela, menatap ke luar ke arah pertempuran yang bermil-mil jauhnya, ia berkata, “Marilah kita berhenti menyibukkan diri dengan masalah-masalah ini dan marilah kita mengucap syukur kepada Tuhan. Armada Kristen telah meraih kemenangan.”
Tahun berikutnya sebagai ucapan syukur, Paus Pius V menetapkan Pesta Rosario Suci pada tanggal 7 Oktober, di mana umat beriman tidak hanya mengenangkan kemenangan ini, melainkan juga terus menyampaikan syukur kepada Tuhan atas segala rahmat-Nya dan mengenangkan kuasa perantaraan Bunda Maria.

• Bapa Suci juga secara resmi menganugerah-kan gelar, “Auxilium Christianorum” (Pertolongan Orang-orang Kristen) pada Bunda Maria. Mejelis Tinggi Venesia juga mencantumkan pada sebilah papan dalam ruang pertemuan mereka, “Non virtus, non arma, non duces, sed Maria Rosari, victores nos fecit,” yang artinya, “Bukan kegagahan, bukan senjata, bukan pemimpin, melainkan Maria dari Rosario yang membuat kita menang.”
(FX. Sutjiharto)

Rabu, 06 Oktober 2010

Saat yang tepat & sangat dibutuhkan untuk ber-Devosi Kerahiman Ilahi


Pengantar dari redaksi:

Mawass edisi 6 antara lain memuat artikel tentang kegiatan PDKI di Paroki Salib Suci.
Selain itu, di rubrik 'Tanya-jawab' juga ada muatan tentang Doa / devosi 'Kerahiman Ilahi'.
Dari dua muatan itu, muncul beberapa tanggapan dari pembaca Mawass, berkaitan dengan hal-hal seputar PDKI dan Devosi Kerahiman Ilahi.
Melihat hal itu, berikut ini redaksi menampilkan artikel, yang lebih detail dan sistematis mengenai Devosi tersebut, dengan harapan para pembaca Mawass dapat memahami dengan lebih baik lagi salah satu kekayaan spiritual Gereja Katolik kita.
Mari kita simak . . .

APA dan BAGAIMANA:
DEVOSI KERAHIMAN ILLAHI

A. Pengertian Devosi
Apa itu Devosi ?
Istilah devosi berasal dari kata benda latin “Devotio“ yang berarti: kebaktian, pengorbanan, penyerahan, sumpah, kesalehan, cinta bakti; atau keta kerja Latin: “devovere” yang artinya: “mencurahkan perhatian sepenuhnya pada 'atau' memasrahkan diri kepada“ sesuatu atau pribadi tertentu.
Devosi Kerahiman Illahi ialah suatu kebaktian yang memberikan keyakinan kepada umat manusia bahwa Allah itu Maha-rahim dan Maha-pengampun, untuk percaya penuh kepada Allah serta untuk belajar menerima belas-kasih-Nya dengan ucapan syukur.
Bentuk devosi Kerahiman Illahi ini didasarkan pada catatan-catatan Santa Faustina Kowalska, seorang biarawati Polandia yang tak terpelajar, yang dalam ketaatan kepada pembimbing rohaninya, menuliskan sebuah Buku Catatan Harian (dikenal dengan singkatan: BCH) setebal kurang lebih 600 enamratus) halamanan. Dalam buku catatan itu ia mencatat tentang penampakan-penampakan yang dianugerahkan kepadanya mengenai Kerahiman Allah. Berdasarkan pengalaman spiritual St. Faustina itu, mulailah berkembang suatu kegiatan doa / devosi, yang dikenal dengan nama: DEVOSI KEPADA KERAHIMAN ILAHI, yang juga dikenal dengan nama: DOA KORONKA.
St. Faustina wafat pada tahun 1938, pada saat mana Devosi kepada Kerahiman Illahi telah mulai disebar-luaskan.

Pesan Utama Kerahiman Illahi
Pesan utama Kerahiman Illahi, mengingatkan kita bahwa Allah mengasihi kita semua, tak peduli betapapun beratnya dosa kita. Tuhan ingin kita tahu bahwa belas-kasih-Nya jauh lebih besar daripada segala dosa kita; Tuhan mengundang kita untuk datang kepada-Nya dengan penuh kepercayaan, menerima belas-kasih-Nya dan membiarkannya mengalir melalui kita kepada sesama. Dengan demikian segenap umat manusia akan ikut ambil bagian dalam sukacita-Nya.

Pesan ini dapat kita ingat dengan mudah melalui 'ABC' Kerahiman Illahi :

A: Ask For His Mercy: Mohon Belas Kasih Allah
Allah menghendaki kita bertobat yaitu: datang kepada-Nya dalam doa secara terus menerus, menyesali dosa-dosa kita dan mohon kepada-Nya untuk mencurahkan belas-kasihNya atas umat manusia di dunia, sebab Allah, melalui sengsara dan wafat Yesus, telah menyediakan bagi semua orang suatu samudera belas-kasih yang tak terhingga.
Kepada St. Faustina, Yesus sekali lagi menyatakan pesan yang sama. Yesus memberikan tiga cara baru untuk mohon belas-kasih-Nya dengan mengandalkan jasa-jasa sengsara-Nya, yaitu: Doa Koronka, Novena dan Jam Kerahiman Illahi. Yesus mengajarkan bagaimana mengubah hidup sehari-hari menjadi suatu doa yang tak kunjung henti memohon belas kasih Allah. Melalui Rasul Kerahiman Illahi-Nya (yaitu St. Faustina), Yesus memanggil kita semua untuk mohon belas-kasih-Nya.
“Jiwa-jiwa yang memohon belas-kasih-Ku menyenangkan hati-Ku. Kepada jiwa-jiwa ini aku menganugerahkan rahmat, bahkan seorang pendosa besar sekalipun, jika ia mohon belas-kasih-Ku “(BCH.1146)
“Mohonlah belas kasih bagi seluruh dunia“ (BCH. 570)
“Tak satu jiwapun yang mohon belas-kasih-Ku akan dikecewakan“ (BCH .1541)

B: Be Merciful: berbelas-kasih kepada sesama
Tuhan menghendaki kita menerima belas-kasihNya dan membiarkannya mengalir melalui kita kepada sesama. Tuhan menghendaki kita memperluas kasih serta pengampunan kepada sesama seperti Ia telah melakukan kepada kita. Belas-kasih adalah kasih yang berusaha meringankan penderitaan sesama. Belas-kasih adalah kasih yang hidup, yang dicurahkan atas sesama guna menyembuhkan, melegakan, menghibur, mengampuni, menghapus rasa sakit. Itulah kasih yang Tuhan tawarkan kepada kita dan itulah yang Ia kehendaki kita tawarkan kepada sesama.

C: Completely Trust: percaya penuh kepada-Nya.
Tuhan Allah ingin kita tahu bahwa rahmat-rahmat belas-kasih-Nya tergantung pada besarnya kepercayaan (iman) kita. Semakin kita percaya kepada-Nya semakin melimpah rahmat yang kita terima. Kepercayaan (iman) kepada Yesus merupakan intisari pesan kerahiman illahi.

'ABC' Kerahiman Illahi saling berhubungan satu sama lain, dan unsurnya yang utama adalah kepercayaan penuh kepada Yesus. Kita tidak sekedar mohon belas kasih Tuhan atau sekedar berbelas-kasih kepada sesama, melainkan kita mohon belas-kasih Tuhan dengan percaya penuh dan Tuhan memenuhi kita dengan rahmat-Nya agar kita dapat berbelas-kasih, sebab Bapa Surgawi kita penuh belas-kasih. Kata-kata Yesus kepada St. Faustina: “Aku adalah kasih dan Belas-kasih itu sendiri. Apabila jiwa datang kepada-Ku dengan penuh kepercayaan, Aku akan memenuhinya dengan rahmat yang begitu berlimpah hingga jiwa tak mampu menampungnya seorang diri, melainkan menyalurkannya kepada jiwa-jiwa lain juga “ ( 1074 )

B.Spiritualitas Kerahiman Illahi
Spiritualitas Kerahiman Illahi berbasis pada sifat Allah yang berbelas-kasih. Sedangkan belas-kasih bersumber dari kasih Allah sendiri. Berdevosi kepada belas-kasih Allah berarti bahwa devosan demikian tenggelam dalam pesona kasih Allah yang demikian murah hati. Biasanya seorang devosan menjadi ingin hidup dengan didayai oleh kasih Allah yang berbelas-kasih itu, sedemikian sehingga berharap orang lain yang dijumpainya juga dapat diantar masuk dalam kekayaan belas-kasih Allah. Dengan demikian setiap devosan selalu termotivasi dari dalam hatinnya untuk menghidupi nilai / keutamaan seperti: empati dan solidaritas, murah hati dan pemberi-diri tanpa batas, pengorbanan dan silih, pengampunan dan kepercayaan, kesetiaan dan kesabaran, optimisme dan harapan.

C.Bagaimana Mempraktekkan Devosi Kerahiman Illahi ?
Mempraktekkan Devosi Kerahiman Illahi dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
1. Menghormati Lukisan Kerahiman Illahi.
2. Mendaraskan Koronka Kerahiman Illahi
3. Merayakan Minggu Kerahiman Illahi
4. Novena Kerahiman Illahi
5. Mendoakan Jam Kerahiman Illahi


D.Apakah Koronka dapat didoakan dalam acara yang bernuansa / intensi / ujub 'syukur', misalnya: Midodareni, Ulang tahun, dan bentuk-bentuk syukur lain?
Devosi Kerahiman Illahi seperti yang dinyatakan Tuhan kita melalui St. Faustina, dianugerahkan kepada kita sebagai sarana belas-kasih, sebagai silih atas segala dosa yang dilakukan. Maka doa Koronka memiliki kekhasannya sebagai “silih“. Antara “Silih” dan “Syukur” tentunya ada perbedaan.

Untuk menjaga kekhasan tersebut maka Doa Koronka atau Kerahiman Illahi sangat tepat jika tidak didoakan dengan tema-tema syukur.
Sebagaimana misalnya Doa Novena Tiga Salam Maria, adalah doa yang bercirikan permohonan yang sangat mendesak kepada Bunda Maria, demikian pula Doa Kerahiman Ilahi, sebagaimana telah diuraikan di atas, juga mempunyai ciri khas, yaitu “silih”, memohon”kerahiman ilahi”.
Mungkin kita sering melihat (atau mengalami?) Doa Koronka / Doa Kerahiman Ilahi dilakukan dalam kesempatan doa yang bertema / ujub “syukur”. Memang hal ini tidak tepat. Melalui rubrik ini, semoga perlahan-lahan akan ada pembenahan, sehingga kita dapat menempatkan segala sesuatu dengan benar.

(Sofie Muji PDKI Salib Suci, Tropodo-Sidoarjo
untuk MAWASS Edisi 7)