Berawal dari suatu pagi, sebuah peristiwa kecil yang memancing hati harus bertanya dan bertanya. Langkahnya berjalan gesit dan tangannya menghimpit Kitab Suci, dia seorang Katolik, senyumnya ramah ketika ditanya : “Mau kemana Pak?” Jawabnya dengan tegas : ”Mau doa pagi!” Keheranan semakin menjadi, doa pagi saja harus berkumpul di suatu tempat, bukan rumah sembayang, bukan gereja, tapi rumah sebuah keluarga. Pengikutnya bukan hanya orang Katolik saja, namun bersama dengan orang-orang yang non Katolik. Mereka berkumpul berdoa, bernyanyi bersama, membaca Kitab Suci, sehingga bisa memberikan suatu kelegahan dalam hati mereka.
Dengan kelegahan itu yang satu bisa membawa orang lain. Bukankah doa pagi bisa dilakukan di rumah? Dan baik sekali bila dilakukan bersama sama dengan keluarga sendiri. Namun, mereka telah terjebak dalam “Hati yang mendua” Seharusnya mereka sadar, bahwa mereka telah terlahir kembali dengan permandian Katolik, namun mengapa mau melewati koridor yang bukan Katolik. Mereka sudah tidak ingat lagi ketika menjadi katekumen, yang diajarkan bukan saja upaya menerangkan ajaran dan perintah perintah ilahi, melainkan juga dihantar dan dilatih cara hidup kristiani, yang menghubungkan murid dengan Sang Gurunya.
Secara bertahap iman mereka diterangkan dan melalui upacara upacara, para katekumen dihantar menuju hidup kristiani, sampai diterima umat dengan sakramen inisiasi yaitu :
Pembaptisan, penguatan dan Ekaristi. Akhirnya mereka hidup dalam dua dunia kristiani yang berbeda. Mereka lupa akan syahadat yang pernah diucapkannya : . . . . . aku percaya akan Roh Kudus, gereja Katolik yang kudus, persekutuan para kudus . . . . . . . . .dstnya.
Orang terkadang berkata, untuk menjadi seorang Katolik saja begitu sulit!
Benarkah ?
Untuk dipermandikan secara Katolik harus mengikuti pelajaran (menjadi katekumen) selama kurang lebih satu tahun. Memang, ini diberikan kepada orang orang yang akan dipermandikan secara Katolik, agar mereka betul-betul tahu tata cara hidup sebagai orang Katolik. Mempunyai iman Katolik yang kuat dan dewasa. Melalui proses inisiasi yang meliputi pembinaan bertahap manusia seluruhnya, supaya menjadi orang yang mengenal iman Kristiani (pembinaan doktrinal), menghayatinya (pembinaan rohani), hidup dalam dan bersama dengan umat (pembinaan liturgis) dan bersedia menjalankan pengutusan (pembinaan apostolis). Namun agaknya sekarang sudah menjadi model yang bisa menjadikan orang Katolik secara instan, tanpa melalui katekumen, asal ada kemauan untuk dibaptis, langsung bisa menerima sakramen baptis, yang juga diberikan oleh seorang imam tertabis. Ini sangat luar biasa, dan berdasarkan sabda Yesus yang mengatakan: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus (Mat.28 :19), maka
dibaptiskanlah orang melalui perantara yang sudah dekat dan “berlangganan” kepada imam tersebut. Suatu pertanyaanpun timbul kembali.
Siapakah yang bersalah dalam hal ini, imamnya ? orang orang yang dibaptis? Ataukah perantaranya? Yang jelas praktik seperti ini akan membuahkan para baptisan memilik pedoman iman Katolik yang kurang kuat, akhirnya mudah terjebak untuk tidak berjalan pada koridor Katolik, dan mudah memiliki “Hati yang mendua”. Hal seperti ini pasti terjadi pada beberapa wilayah di paroki, dan yang pasti ini akan menjadi hal yang sangat mengecewakan para Ketua wilayah dan Ketua Lingkungan ataupun Ketua kelompok bila ada, dan mau tidak mau harus memikirkan bagaimana menanggapi hal hal seperti ini.
Untuk itu, “EROSI IMAN” pada majalah MAWASS edisi pertama hendaknya betul betul perlu diperhatikan. Bukan banyaknya namun terutama mutunya. (Non multa sed multum). oleh Yos/red
Dengan kelegahan itu yang satu bisa membawa orang lain. Bukankah doa pagi bisa dilakukan di rumah? Dan baik sekali bila dilakukan bersama sama dengan keluarga sendiri. Namun, mereka telah terjebak dalam “Hati yang mendua” Seharusnya mereka sadar, bahwa mereka telah terlahir kembali dengan permandian Katolik, namun mengapa mau melewati koridor yang bukan Katolik. Mereka sudah tidak ingat lagi ketika menjadi katekumen, yang diajarkan bukan saja upaya menerangkan ajaran dan perintah perintah ilahi, melainkan juga dihantar dan dilatih cara hidup kristiani, yang menghubungkan murid dengan Sang Gurunya.
Secara bertahap iman mereka diterangkan dan melalui upacara upacara, para katekumen dihantar menuju hidup kristiani, sampai diterima umat dengan sakramen inisiasi yaitu :
Pembaptisan, penguatan dan Ekaristi. Akhirnya mereka hidup dalam dua dunia kristiani yang berbeda. Mereka lupa akan syahadat yang pernah diucapkannya : . . . . . aku percaya akan Roh Kudus, gereja Katolik yang kudus, persekutuan para kudus . . . . . . . . .dstnya.
Orang terkadang berkata, untuk menjadi seorang Katolik saja begitu sulit!
Benarkah ?
Untuk dipermandikan secara Katolik harus mengikuti pelajaran (menjadi katekumen) selama kurang lebih satu tahun. Memang, ini diberikan kepada orang orang yang akan dipermandikan secara Katolik, agar mereka betul-betul tahu tata cara hidup sebagai orang Katolik. Mempunyai iman Katolik yang kuat dan dewasa. Melalui proses inisiasi yang meliputi pembinaan bertahap manusia seluruhnya, supaya menjadi orang yang mengenal iman Kristiani (pembinaan doktrinal), menghayatinya (pembinaan rohani), hidup dalam dan bersama dengan umat (pembinaan liturgis) dan bersedia menjalankan pengutusan (pembinaan apostolis). Namun agaknya sekarang sudah menjadi model yang bisa menjadikan orang Katolik secara instan, tanpa melalui katekumen, asal ada kemauan untuk dibaptis, langsung bisa menerima sakramen baptis, yang juga diberikan oleh seorang imam tertabis. Ini sangat luar biasa, dan berdasarkan sabda Yesus yang mengatakan: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus (Mat.28 :19), maka
dibaptiskanlah orang melalui perantara yang sudah dekat dan “berlangganan” kepada imam tersebut. Suatu pertanyaanpun timbul kembali.
Siapakah yang bersalah dalam hal ini, imamnya ? orang orang yang dibaptis? Ataukah perantaranya? Yang jelas praktik seperti ini akan membuahkan para baptisan memilik pedoman iman Katolik yang kurang kuat, akhirnya mudah terjebak untuk tidak berjalan pada koridor Katolik, dan mudah memiliki “Hati yang mendua”. Hal seperti ini pasti terjadi pada beberapa wilayah di paroki, dan yang pasti ini akan menjadi hal yang sangat mengecewakan para Ketua wilayah dan Ketua Lingkungan ataupun Ketua kelompok bila ada, dan mau tidak mau harus memikirkan bagaimana menanggapi hal hal seperti ini.
Untuk itu, “EROSI IMAN” pada majalah MAWASS edisi pertama hendaknya betul betul perlu diperhatikan. Bukan banyaknya namun terutama mutunya. (Non multa sed multum). oleh Yos/red
Tidak ada komentar:
Posting Komentar