Selasa, 04 Januari 2011

Lagu Gregorian,..diteruskan atau dimusnahkan


Kalau melihat perkembangan umat katholik di Indonesia dari dulu sampai sekarang, banyak perubahan yang dialami. Hal ini terbukti bahwa dulu, pertama kali agama katholik masuk di Indonesia yang dipelopori oleh misionaris Franciscus Xaverius di Maluku, perayaan Ekaristi atau misa kudus dilaksanakan dalam bahasa Latin. baik Tata Perayaan Sabda, Tata Perayaan Ekaristi maupun nyanyiannya. Nyanyian yang kita kenal dengan nama Lagu Gregorian, jaman dulu selalu dinyanyikan penuh dengan khidmat dan nampak begitu sakral, dan umat yang hadir dalam perayaan Ekaristi, merasa nyaman dan penuh dengan kedamaian.
Setelah Konsili Vatikan II, salah satu perkembangan yang ada, sebagaimana yang telah dirintis dalam gerakan liturgi, adalah bahwa: “Liturgi bukanlah perorangan, melain-kan perayaan Gereja sebagai sakramen kesatuan umat kudus yang berhimpun dibawah para Uskup (Uskup yang menjalankan tugas gembala di daerah masing-masing keuskupan).” Konsekuensinya adalah bahasa Latin diganti dengan bahasa pribumi (lokal, setempat).
Perkembangan liturgi di Indonesia dapat kita lihat, di mana ada kreativitas yang cukup tinggi untuk mengembang-kan inkulturasi (sosio budaya) sesuai dengan tradisi yang dipunyai oleh masing-masing suku. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa lagu-lagu dari hasil lokakarya di Indonesia mendapat perhatian di dunia internasional pada tahun 1989. Lagu tersebut antara lain: “Jiwa Kristus“ (MB. 697) hasil loka-karya Komposisi Atambua/Timor, “Cahaya Suci“ (MB. 220) ciptaan Paul Widyawan, yang diperkenalkan oleh kelompok koor Exultate Domino Bandung dalam lomba koor di Roma, begitu pula beberapa lagu inkulturasi yang terpilih dari Mentawai, Batak, Kalimantan, Sunda, Jawa, Flores. Lagu-lagu ini dipakai untuk Tour Kesenian Eropa dari koor Vocalista Sonora tahun 1992 di bawah pimpinan Paul Widyawan dan Romo Karl-Edmund Prier, SJ. (Musik Gereja Jaman Sekarang oleh Karl-Edmund Prier, SJ.).
Di lain pihak perkembangan nyanyian liturgi yang mempunyai gaya sesuai dengan suku dan bangsa tersebut, baik dalam bahasa Indonesia maupun dengan bahasa daerah yang dipunyai bangsa Indonesia ini, juga diimbangi dengan aktivitas umat katholik, yang semakin berkembang, baik dalam aktivitas pelayanan gereja yang antara lain dengan terbentuknya kelompok koor, pemazmur, prolektor, dan lain-lainnya.
Yang patut untuk kita pikirkan dan renungkan, apakah perayaan Ekaristi dengan memakai bahasa Latin, terutama nyanyian Gregorian yang dikenal begitu agung dan sakral ini perlu di lestarikan (dikembalikan ke asal mula seperti yang dipakai dalam perayaan Ekaristi di Vatikan)? Atau sebagian saja yang kita pakai seperti Ordinarium, Credo, Pater Noster sebagai nyanyian umat. Jawabannya tentu harus mempertimbangkan, karena ada umat yang tahu arti nyanyian Gregorian dengan bahasa Latin, dan ada pula umat yang tidak tahu sama sekali bahasa Latin.
Satu hal lain lagi, adalah mengenai nyanyian Gregorian yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Saya rasa ini kurang pas. Menterjemahkan nyanian Gregorian dari bahasa Latin ke bahasa Indonesia memang bagus. Tetapi akibatnya, nyanyian tersebut akan berubah, misalnya karena ada penambahan not yang disesuaikan dengan syair terjemahan dalam bahasa Indonesia.
Yang perlu diperhatikan, dalam menjalankan tugas pelayanan koor di gereja, adalah: bahwa koor bukan merupakan Concerto ecclesiastica (konser gerejani). Koor ini harus mengambil bagian dari tugas pewartaan Gereja melalui musik dan nyanyian iman yang ditafsirkan, diterangkan bagaimana iman umat semakin diperdalam, kesatuan dan keterlibatan umat dapat diungkapkan dalam rasa sesal dan rasa gembira. Maka koor ini berfungsi sosial, mereka bernyanyi bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk jemaat yang hadir dalam perayaan sabda maupun perayaan Ekaristi. Koor bukan merupakan suatu pentas lagu-lagu, melainkan berusaha untuk membantu umat untuk mengungkapkan imannya melalui nyanyian dan musiknya.

AYS, CHOIR ET LITURGIA