Selasa, 21 Desember 2010

Segera Terbit MAWASS Edisi 8



Yesus datang lagi,...akankah kita bunuh lagi ???

A. WACANA TEMA
Natal telah tiba.
Keceriahan dan kegembiraan Natal terasa hampir di seluruh belahan bumi, dari kota sampai pelosok. Dari mal-mal sampai di dusun-dusun.
Mulai anak-anak sampai lansia, pria maupun wanita, larut dalam pesta setahun sekali itu.
Itulah Natal bila dilihat dari hal yang indrawi.
Bagaimana dengan sisi iman?

B. ADVENT SEBAGAI AWAL
Kalender Liturgi Gereja Katolik menentukan, bahwa selama masa dalam 4 hari Minggu sebelum tanggal 25 Desember, adalah masa Advent. Pada tahun 2010 ini, masa Advent dimulai pada tanggal 28 Nopember. Tanggal tersebut sekaligus adalah sebagai permulaan tahun Liturgi. Jadi ada perbedaan dengan penanggalan umum, yang setiap tahun dimulai pada tanggal 1 Januari.
Masa Advent adalah masa penantian, menantikan (peringatan) lahirnya Yesus.
Dan karena yang dinantikan adalah sosok yang istimewa, maka persiapan yang harus dilakukanpun haruslah persiapan yang istimewa.
Karena yang akan datang adalah Yang Mahasuci, maka persiapan itu pada ghalibnya adalah untuk mematut diri, membersihkan diri, membersihkan hati dan jiwa dari noda-noda dosa.
Sehingga seringkali orang mengatakan bahwa masa Advent adalah masa pertobatan.
Seiring dengan hal itu, maka warna liturgi dari masa Advent adalah ungu.

C. SANG PENYELAMAT ITU TELAH DATANG
Seiring dengan berjalannya waktu, maka masa Advent-pun berakhir.
Namun, seringkali berakhirnya masa Advent itu betul-betul karena tanggal 25 Desember telah tiba. Bukan karena telah tuntasnya pertobatan kita. Bukan juga karena kegembiraan dari harapan yang terkabulkan.
Lagu masa Advent: “O datanglah Imanuel . . .” dengan begitu saja tergantikan oleh lagu-lagu masa Natal: “Gembala kemari, cepat-cepat, pergilah ke Betlehem...”.
Kita larut dalam 'suasana' bahagia dan gemerlap lampu 'Pohon Terang'.
Bila masa Advent dilalui begitu saja tanpa penghayatan yang benar, maka sudah pasti juga tidak ada pertobatan yang sejati. Dan dengan demikian, bagaimana mungkin ada 'Penantian' dan 'Harapan' yang sebagaimana mestinya?
Yang ada hanyalah sekedar jargon pemanis bibir penyedap suara: tobat, harapan, Sang Juru Selamat, dan lain-lain.
Mari kita bertanya kepada hati nurani kita: Betulkah jiwa kita haus akan pertolongan dan keselamatan yang dari Allah? Betulkah hidup kita memerlukan Sang Juru Selamat?
Dan karenanya, kita juga perlu bertanya: Apakah kita sudah melakukan pertobatan yang sejati?
Perlu kita menyadari, bahwa pertobatan yang sejati mengandung 3 esensi: Kasih akan Allah (bukan 'takut masuk neraka'), penyesalan, dan niat untuk tidak mengulangi berbuat dosa lagi. Tanpa pertobatan yang sejati, mustahil kita bisa menghayati makna NATAL dengan benar. Artinya, hari Natal, tanggal 25 Desember 2010 hanya merupakan 'Kedatangan' Sang Juru Selamat yang kesekian kalinya. Hanya begitu saja. Setelah itu, tanggal 26 Desember dan hari-hari berikutnya, kitapun sudah melupakan hari Natal itu.

D. JANGAN TERJEBAK PADA 'SEKEDAR' RITUAL
Kembali pada tahun Liturgi.
Dalam tahun liturgi, ada 2 peristiwa penting yang diperingati. Yaitu Natal, peringatan kelahiran Yesus, dan Paskah yang memperingati kebangkitan Yesus.
Bagi umat Katolik, ada beberapa peristiwa penting sekitar Paskah. Ada ritual Jalan Salib, liturgi Minggu Palem, Hari Kamis Putih, Tuguran, serta Jumat Agung.
Tanpa mengaburkan berharganya nilai Kebangkitan Yesus, Hari Jumat Agung merupakan hari yang penting bagi kita.
Pada hari itu kita memperingati saat-saat sengsara Yesus, saat penyiksaan Yesus, saat Yesus dihina, saat Yesus disalibkan, saat Yesus dibunuh.
Mengikuti upacara Hari Jumat Agung, sungguh bisa membuat hati kita trenyuh, bahkan sampai meneteskan air mata.
Nah, sebagaimana pertanyaan introspektif untuk masa Natal, kitapun perlu bertanya kepada hati nurani kita: Mengapa Yesus mesti mengalami penderitaan yang demikian berat, mengapa Yesus harus dibunuh....????
Tanpa menghayati makna Natal dengan baik dan benar, mustahil kita bisa menghayati makna sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus.
Dan tanpa penghayatan yang benar, berarti kita hanya 'ikut' dalam upacara-upacara itu. Alhasil, kitapun terjebak pada hal-hal yang 'sekedar' ritual belaka. Betul-betul hanya 'sekedar' ritual, karena iman kita tidak bertumbuh dan berkembang karenanya.
Kita hanya tahu bahwa Hari Natal itu adalah saat Yesus: LAHIR, saat Yesus DILAHIRKAN. Dan dengan demikian, kitapun hanya tahu, bahwa Hari Jumat Agung adalah saat Yesus MATI, saat Yesus DIBUNUH. Konsekwensi logisnya, kitapun terjebak dalam konsep LAHIR – MATI, DILAHIRKAN – DIBUNUH.
Sekilas, pemikiran yang demikian memang dapat dikatakan sangat ekstrem. Tapi bila kita tidak menghayati makna Natal dan Paskah sebagaimana mestinya, bukankah kita harus mau mengakui, bahwa kita terjebak dalam ritual LAHIR – MATI, DILAHIRKAN – DIBUNUH yang terus diulang setiap tahun?
Memang, kita tidak pernah bisa ‘membunuh’ Yesus secara riil. Tapi, ‘membunuh’ bisa dilakukan bukan hanya sekedar menusuk dengan pisau atau menembak dengan pistol.
Dalam kaitan dengan iman kristiani, Nabi Yesaya dengan jelas mengatakan, bahwa: dosa-dosa kitalah yang menyebabkan Yesus tersalib (bdk. Yes. 53:4).
Ketidak-sadaran dan ketidak-pedulian (atau bahkan kesengajaan) akan dosa telah membunuh Dia setiap kali Dia hadir lagi setiap tahun dalam Perayaan Hari Natal.

E. WACANA SIKAP BATIN
Kelahiran Yesus di dunia ini adalah suatu tonggak terpenting dalam sejarah umat manusia.
Demikian pula sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Natal dan Paskah adalah dua hal yang tak-terpisahkan. Tak akan ada Paskah tanpa Natal. Dan Natal tanpa Paskah apalah gunanya?
Karenanya perlu ada pemahaman, refleksi yang mendalam dan penghayatan yang benar terhadap kedua peristiwa itu.
Perlu kita bertanya kepada diri kita masing-masing:
-. Apakah setiap hari Natal menjadi saat peringatan hadirnya Yesus dalam kehidupan kita?
Adakah kita dapat merasakan Kasih Allah yang telah memberikan Penyelamat bagi kita?
-. Apakah setiap datangnya hari Paskah kita sadar bahwa dosa manusialah (kita manusia juga, kan?) yang telah ditanggungnya dalam penderitaan?
Adakah kita dapat merasakan kasih Allah melalui pengorbanan Putra-Nya?
-. Apakah kita dapat merasakan Kasih Allah yang setia, yang senantiasa hadir dan menyapa kita dalam sakramen-sakramen-Nya?

Hari Natal telah tiba.
Hari yang mengingatkan kita untuk berbenah-diri lagi.
Mari kita bersuka-cita, karena kita diingatkan lagi dan lagi, bahwa Allah tetap setia kepada janji-Nya untuk menyelamatkan umat manusia.
Berbahagialah kita, karena kita diingatkan, bahwa Yesus tetap menyertai kita hingga akhir zaman.

D e o G r a t i a !!!!!

Minggu, 10 Oktober 2010

Sejarah Doa Rosario

Rata Tengah
I. PENGANTAR

Bulan Oktober adalah bulan yang penuh gairah dalam hidup menggereja. Antusiasme umat berdoa Rosario secara bergiliran dari rumah ke rumah di setiap wilayah atau lingkungan selalu dipadati umat. Devosi yang sehat ini rupanya telah mengakar kuat pada umat. Tak diragukan lagi bahwa ungkapan devosi kepada Bunda Maria yang paling populer dan dicintai dalam Gereja adalah Doa Rosario. Dari generasi ke generasi, Doa Rosario juga telah menjadi ungkapan devosi (hampir) semua paus dan tokoh-tokoh suci Gereja, antara lain: St. Thomas Aquinas, St. Alfonsus Liguori, St. Louis Maria de Monfort, Ibu Teresa Calcuta, dan masih banyak lagi. Namun, tentunya semarak devosi ini perlu mendapatkan penjernihan yang sepatutnya, agar umat tidak terjebak ke dalam spiritualitas yang kerdil, emosional dan dangkal.
Untuk itu, tulisan ini hendak menyajikan tentang Sejarah Doa Rosario. Sebagai pengantar, kami mencoba menulis ulang apa yang pernah dimuat di majalah ini tentang sejarah dari Rosario dari sisi yang sedikit berbeda. Kisah Lepanto yang melegenda kami sajikan, bukan pertama-tama untuk mengusik luka lama dalam hubungan dengan saudara-saudara Muslim, melainkan melihat kenyataan sejarah itu sebagai penekanan akan pertolongan Bunda Maria bagi kita (Maria Auxilium Christianorum). Dan tentunya hal ini sangat mengena bagi sebagian umat yang sangat mengharap pertolongan Sang Bunda, terutama di bulan Rosario ini.Semoga tulisan ini semakin membawa kita semakin mencintai Yesus melalui Maria.

II. SEKILAS SEJARAH PERKEMBANGAN 'DOA ROSARIO'

1. TERBENTUKNYA DOA ROSARIO

Penggunaan “manik-manik” untuk mendaras doa yang diulang-ulang sebagai media meditasi telah dikenal bahkan sebelum masa kekristenan. Di dalam Gereja sendiri hal yang demikian telah dikenal sejak masa-masa awal Gereja. Cara berdoa dengan menggunakan untaian biji-bijian atau simpul-simpul pada tali digunakan untuk membantu orang yang kurang terpelajar di dalam menghitung jumlah Doa Bapa Kami atau Salam Maria yang didaraskan sebagai pengganti 150 Mazmur. Sehingga untaian manik-manik ini kemudian dikenal dengan sebutan “Paternoster,” atau juga dikenal sebagai “brevir (doa mazmur) orang-orang sederhana”
Doa ini berkembang selama beberapa abad. Perkembangan yang cukup pesat terjadi di sekitar abad 12-15. Hingga akhirnya doa 50 kali Salam Maria (atau lebih) didaraskan dan dihubungkan dengan ayat-ayat Mazmur atau ayat-ayat lain untuk mengenangkan “sukacita Maria” dalam hidup Yesus dan Maria.

Menurut tradisi, St. Dominikus Guzman, pendiri tarekat Dominikan (wafat tahun1221) adalah yang mempopulerkan doa ini dan merangkaikan 50 ayat mengenai hidup Yesus dan Maria dengan 50 kali doa Salam Maria. Karenanya bentuk doa ini dikenal sebagai rosarium (“kebun mawar”), yang arti umumnya berarti “bunga rampai” (suatu kumpulan bahan yang serupa). Doa Salam Maria yang diulang-ulang itu adalah bagaikan bunga mawar yang dirangkaikan kepada Bunda Maria. Pada masa ini pula nuansa biblis doa Rosario semakin berkembang dengan ditambahkannya rangkaian peristiwa “dukacita Maria” dan “sukacita surgawi”, sehingga jumlah doaSalam Maria menjadi 150 kali.

• Dikisahkan, bahwa St. Diminikus yang tergerak oleh penampakan Bunda Maria, mewartakan penggunaan Rosario untuk mempertobatkan bidaah Albigenisme (kata Albigensis berasal dari nama kota 'Albi' di Perancis Selatan). Bidaah ini percaya bahwa semua yang jasmaniah adalah jahat dan yang rohaniah adalah baik. Karenanya, inkarnasi Allah Putera tidaklah masuk akal. (Bidaah ini sangat mungkin terengaruh oleh aliran Platonisme, yang mengajarkan bahwa: jiwa terbelenggu dalam tubuh yang jahat). Dan tindakan religius mereka yang paling “luhur” disebut “endura”, bunuh diri untuk membebaskan jiwa dari raga. Mereka juga menentang otoritas manapun yang mewakili suatu kerajaan dunia ini, sebab itu mereka membantai para pejabat kerajaan dan para pejabat Gereja.

Perkembangan selanjutnya, di awal abad ke-15, Henry Kalkar (1408), seorang biarawan Carthusian, mengelompokkan ke-150 kali doa Salam Maria ke dalam beberapa kelompok yang berisi 10 kali doa Salam Maria dengan diawali dengan doa Bapa Kami. Dan hingga pada abad ke-16, struktur lima kelompok misteri dalam doa Rosario telah didasarkan pada tiga rangkaian peristiwa biblis yang sangat erat berkait dengan Bunda Maria dan Yesus, yaitu: Peristiwa Gembira, Peristiwa Sedih dan Peristiwa Mulia.
Dan setelah penampakan Bunda Maria di Fatima (1917), doa yang diajarkan Bunda Maria kepada anak-anak ditambahkan pada akhir setiap misteri, “Ya Yesus yang baik, ampunilah dosa-dosa kami, selamatkanlah kami dari api neraka. Hantarlah jiwa-jiwa ke surga, teristimewa jiwa-jiwa yang amat membutuhkan kerahiman-Mu.”

Dewasa ini, doa Rosario dijunjung tinggi dan dianjurkan sebagai suatu sarana yang efektif bagi pertumbuhan rohani. Banyak orang kudus mendorong pendarasan doa Rosario, termasuk St. Petrus Kanisius, St. Filipus Neri dan St. Louis de Montfort. Paus Leo XIII, yang kerap disebut “Paus Rosario”, menegaskan bahwa doa Rosario sebagai suatu senjata rohani yang ampuh melawan kejahatan (Supremi Apostolatus Officio, 1884).
Paus Pius XI pada tahun 1938 memberikan indulgensi penuh kepada siapa saja yang mendaraskan Rosario di depan Sakramen Mahakudus.

Paus Yohanes XXIII dan Paus Paulus VI juga dikenal sebagai penganjur doa Rosario yang gigih. Buku Pedoman Indulgensi (1969), yang disetujui Paus Paulus VI, memberikan indulgensi penuh “jika Rosario didaraskan di sebuah gereja atau suatu tempat doa umum, atau dalam suatu kelompok keluarga, suatu komunitas religius atau perkumpulan saleh….” (No. 48).
Yang paling akhir, menandai diawalinya 25 tahun masa pontifikatnya, Paus Yohanes Paulus II menerbitkan Surat Apostolik Rosarium Virginis Mariae, di mana beliau menetapkan Peristiwa Cahaya dan mendorong umat beriman agar menggunakan Rosario untuk “bersama Maria, merenungkan wajah Kristus.”

2. ROSARIO DALAM PERANG LEPANTO: MARIA AUXILIUM CHRISTIANORUM

Alkisah, di tengah semakin populernya doa Rosario, di era Paus Pius V, kaum Muslim Turki menyerang Eropa Timur. Tahun 1453 Konstantinopel jatuh ke tangan mereka. Selanjutnya di tahun 1521 Belgrade, Hungaria, juga ditaklukkan. Dan di tahun 1526, mereka telah berada di perbatasan Vienna, Austria sehingga penguasaan Kristen atas Mediterania berada di ujung tanduk. Pada bulan Februari 1570, Siprus jatuh.
Tahun 1571, Paus Pius V mengorganisir suatu armada di bawah komando Don Juan dari Austria, sanak Raja Philip II dari Spanyol. Bala tentara dari Spanyol, Venisia, Roma, Savoy, Genoa, Lucca, Tuscany, Manova, Parma, Urbino, dan Ferrara, dan Malta, membentuk suatu aliansi melawan Turki. Sementara persiapan dilakukan, Bapa Suci meminta segenap umat beriman untuk mendaraskan Rosario dan memohon bantuan doa Bunda Maria di bawah gelar “Bunda Kemenangan”. Kekuatan armada Muslim jauh melampaui armada Kristiani, baik dalam jumlah kapal perang maupun pasukan.

Pada hari Minggu, 7 Oktober 1571, Pertempuran di Lepanto dimulai, dan dalam tempo lima jam, kaum Muslim dikalahkan.
Siang itu, Paus Pius V yang tengah berada dalam suatu rapat, sekonyong-konyong berdiri, menuju jendela, menatap ke luar ke arah pertempuran yang bermil-mil jauhnya, ia berkata, “Marilah kita berhenti menyibukkan diri dengan masalah-masalah ini dan marilah kita mengucap syukur kepada Tuhan. Armada Kristen telah meraih kemenangan.”
Tahun berikutnya sebagai ucapan syukur, Paus Pius V menetapkan Pesta Rosario Suci pada tanggal 7 Oktober, di mana umat beriman tidak hanya mengenangkan kemenangan ini, melainkan juga terus menyampaikan syukur kepada Tuhan atas segala rahmat-Nya dan mengenangkan kuasa perantaraan Bunda Maria.

• Bapa Suci juga secara resmi menganugerah-kan gelar, “Auxilium Christianorum” (Pertolongan Orang-orang Kristen) pada Bunda Maria. Mejelis Tinggi Venesia juga mencantumkan pada sebilah papan dalam ruang pertemuan mereka, “Non virtus, non arma, non duces, sed Maria Rosari, victores nos fecit,” yang artinya, “Bukan kegagahan, bukan senjata, bukan pemimpin, melainkan Maria dari Rosario yang membuat kita menang.”
(FX. Sutjiharto)

Rabu, 06 Oktober 2010

Saat yang tepat & sangat dibutuhkan untuk ber-Devosi Kerahiman Ilahi


Pengantar dari redaksi:

Mawass edisi 6 antara lain memuat artikel tentang kegiatan PDKI di Paroki Salib Suci.
Selain itu, di rubrik 'Tanya-jawab' juga ada muatan tentang Doa / devosi 'Kerahiman Ilahi'.
Dari dua muatan itu, muncul beberapa tanggapan dari pembaca Mawass, berkaitan dengan hal-hal seputar PDKI dan Devosi Kerahiman Ilahi.
Melihat hal itu, berikut ini redaksi menampilkan artikel, yang lebih detail dan sistematis mengenai Devosi tersebut, dengan harapan para pembaca Mawass dapat memahami dengan lebih baik lagi salah satu kekayaan spiritual Gereja Katolik kita.
Mari kita simak . . .

APA dan BAGAIMANA:
DEVOSI KERAHIMAN ILLAHI

A. Pengertian Devosi
Apa itu Devosi ?
Istilah devosi berasal dari kata benda latin “Devotio“ yang berarti: kebaktian, pengorbanan, penyerahan, sumpah, kesalehan, cinta bakti; atau keta kerja Latin: “devovere” yang artinya: “mencurahkan perhatian sepenuhnya pada 'atau' memasrahkan diri kepada“ sesuatu atau pribadi tertentu.
Devosi Kerahiman Illahi ialah suatu kebaktian yang memberikan keyakinan kepada umat manusia bahwa Allah itu Maha-rahim dan Maha-pengampun, untuk percaya penuh kepada Allah serta untuk belajar menerima belas-kasih-Nya dengan ucapan syukur.
Bentuk devosi Kerahiman Illahi ini didasarkan pada catatan-catatan Santa Faustina Kowalska, seorang biarawati Polandia yang tak terpelajar, yang dalam ketaatan kepada pembimbing rohaninya, menuliskan sebuah Buku Catatan Harian (dikenal dengan singkatan: BCH) setebal kurang lebih 600 enamratus) halamanan. Dalam buku catatan itu ia mencatat tentang penampakan-penampakan yang dianugerahkan kepadanya mengenai Kerahiman Allah. Berdasarkan pengalaman spiritual St. Faustina itu, mulailah berkembang suatu kegiatan doa / devosi, yang dikenal dengan nama: DEVOSI KEPADA KERAHIMAN ILAHI, yang juga dikenal dengan nama: DOA KORONKA.
St. Faustina wafat pada tahun 1938, pada saat mana Devosi kepada Kerahiman Illahi telah mulai disebar-luaskan.

Pesan Utama Kerahiman Illahi
Pesan utama Kerahiman Illahi, mengingatkan kita bahwa Allah mengasihi kita semua, tak peduli betapapun beratnya dosa kita. Tuhan ingin kita tahu bahwa belas-kasih-Nya jauh lebih besar daripada segala dosa kita; Tuhan mengundang kita untuk datang kepada-Nya dengan penuh kepercayaan, menerima belas-kasih-Nya dan membiarkannya mengalir melalui kita kepada sesama. Dengan demikian segenap umat manusia akan ikut ambil bagian dalam sukacita-Nya.

Pesan ini dapat kita ingat dengan mudah melalui 'ABC' Kerahiman Illahi :

A: Ask For His Mercy: Mohon Belas Kasih Allah
Allah menghendaki kita bertobat yaitu: datang kepada-Nya dalam doa secara terus menerus, menyesali dosa-dosa kita dan mohon kepada-Nya untuk mencurahkan belas-kasihNya atas umat manusia di dunia, sebab Allah, melalui sengsara dan wafat Yesus, telah menyediakan bagi semua orang suatu samudera belas-kasih yang tak terhingga.
Kepada St. Faustina, Yesus sekali lagi menyatakan pesan yang sama. Yesus memberikan tiga cara baru untuk mohon belas-kasih-Nya dengan mengandalkan jasa-jasa sengsara-Nya, yaitu: Doa Koronka, Novena dan Jam Kerahiman Illahi. Yesus mengajarkan bagaimana mengubah hidup sehari-hari menjadi suatu doa yang tak kunjung henti memohon belas kasih Allah. Melalui Rasul Kerahiman Illahi-Nya (yaitu St. Faustina), Yesus memanggil kita semua untuk mohon belas-kasih-Nya.
“Jiwa-jiwa yang memohon belas-kasih-Ku menyenangkan hati-Ku. Kepada jiwa-jiwa ini aku menganugerahkan rahmat, bahkan seorang pendosa besar sekalipun, jika ia mohon belas-kasih-Ku “(BCH.1146)
“Mohonlah belas kasih bagi seluruh dunia“ (BCH. 570)
“Tak satu jiwapun yang mohon belas-kasih-Ku akan dikecewakan“ (BCH .1541)

B: Be Merciful: berbelas-kasih kepada sesama
Tuhan menghendaki kita menerima belas-kasihNya dan membiarkannya mengalir melalui kita kepada sesama. Tuhan menghendaki kita memperluas kasih serta pengampunan kepada sesama seperti Ia telah melakukan kepada kita. Belas-kasih adalah kasih yang berusaha meringankan penderitaan sesama. Belas-kasih adalah kasih yang hidup, yang dicurahkan atas sesama guna menyembuhkan, melegakan, menghibur, mengampuni, menghapus rasa sakit. Itulah kasih yang Tuhan tawarkan kepada kita dan itulah yang Ia kehendaki kita tawarkan kepada sesama.

C: Completely Trust: percaya penuh kepada-Nya.
Tuhan Allah ingin kita tahu bahwa rahmat-rahmat belas-kasih-Nya tergantung pada besarnya kepercayaan (iman) kita. Semakin kita percaya kepada-Nya semakin melimpah rahmat yang kita terima. Kepercayaan (iman) kepada Yesus merupakan intisari pesan kerahiman illahi.

'ABC' Kerahiman Illahi saling berhubungan satu sama lain, dan unsurnya yang utama adalah kepercayaan penuh kepada Yesus. Kita tidak sekedar mohon belas kasih Tuhan atau sekedar berbelas-kasih kepada sesama, melainkan kita mohon belas-kasih Tuhan dengan percaya penuh dan Tuhan memenuhi kita dengan rahmat-Nya agar kita dapat berbelas-kasih, sebab Bapa Surgawi kita penuh belas-kasih. Kata-kata Yesus kepada St. Faustina: “Aku adalah kasih dan Belas-kasih itu sendiri. Apabila jiwa datang kepada-Ku dengan penuh kepercayaan, Aku akan memenuhinya dengan rahmat yang begitu berlimpah hingga jiwa tak mampu menampungnya seorang diri, melainkan menyalurkannya kepada jiwa-jiwa lain juga “ ( 1074 )

B.Spiritualitas Kerahiman Illahi
Spiritualitas Kerahiman Illahi berbasis pada sifat Allah yang berbelas-kasih. Sedangkan belas-kasih bersumber dari kasih Allah sendiri. Berdevosi kepada belas-kasih Allah berarti bahwa devosan demikian tenggelam dalam pesona kasih Allah yang demikian murah hati. Biasanya seorang devosan menjadi ingin hidup dengan didayai oleh kasih Allah yang berbelas-kasih itu, sedemikian sehingga berharap orang lain yang dijumpainya juga dapat diantar masuk dalam kekayaan belas-kasih Allah. Dengan demikian setiap devosan selalu termotivasi dari dalam hatinnya untuk menghidupi nilai / keutamaan seperti: empati dan solidaritas, murah hati dan pemberi-diri tanpa batas, pengorbanan dan silih, pengampunan dan kepercayaan, kesetiaan dan kesabaran, optimisme dan harapan.

C.Bagaimana Mempraktekkan Devosi Kerahiman Illahi ?
Mempraktekkan Devosi Kerahiman Illahi dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
1. Menghormati Lukisan Kerahiman Illahi.
2. Mendaraskan Koronka Kerahiman Illahi
3. Merayakan Minggu Kerahiman Illahi
4. Novena Kerahiman Illahi
5. Mendoakan Jam Kerahiman Illahi


D.Apakah Koronka dapat didoakan dalam acara yang bernuansa / intensi / ujub 'syukur', misalnya: Midodareni, Ulang tahun, dan bentuk-bentuk syukur lain?
Devosi Kerahiman Illahi seperti yang dinyatakan Tuhan kita melalui St. Faustina, dianugerahkan kepada kita sebagai sarana belas-kasih, sebagai silih atas segala dosa yang dilakukan. Maka doa Koronka memiliki kekhasannya sebagai “silih“. Antara “Silih” dan “Syukur” tentunya ada perbedaan.

Untuk menjaga kekhasan tersebut maka Doa Koronka atau Kerahiman Illahi sangat tepat jika tidak didoakan dengan tema-tema syukur.
Sebagaimana misalnya Doa Novena Tiga Salam Maria, adalah doa yang bercirikan permohonan yang sangat mendesak kepada Bunda Maria, demikian pula Doa Kerahiman Ilahi, sebagaimana telah diuraikan di atas, juga mempunyai ciri khas, yaitu “silih”, memohon”kerahiman ilahi”.
Mungkin kita sering melihat (atau mengalami?) Doa Koronka / Doa Kerahiman Ilahi dilakukan dalam kesempatan doa yang bertema / ujub “syukur”. Memang hal ini tidak tepat. Melalui rubrik ini, semoga perlahan-lahan akan ada pembenahan, sehingga kita dapat menempatkan segala sesuatu dengan benar.

(Sofie Muji PDKI Salib Suci, Tropodo-Sidoarjo
untuk MAWASS Edisi 7)

Segera Terbit ! Segera Terbit ! Segera Terbit !

Mohon maaf, dikarenakan sesuatu hal, maka terbitan MAWASS
Edisi 7 agak sedikit mengalami keterlambatan. Tapi justru kami yakin isi MAWASS Edisi ini cukup dibutuhkan bagi wacana baru & wawasan iman kita. Miliki segera & simak isinya.

Senin, 04 Oktober 2010

Spiritualitas Aktivis Gereja

Artikel ini bukan hanya ditujukan bagi para aktivis (pengurus/pamong) gereja saja namun juga bagi segenap umat. Aktivis yang dimaksud adalah 'aktif' sebagai umat yang telah dibaptis secara katolik. Bukankah sejak kita dibaptis, kita telah dipanggil untuk mengikuti jejak Kristus sebagai juru penyelamat dan guru kehidupan kita? Persoalannya, apakah kita sudah meyakini dengan sepenuh hati atau setengah hati?

Masa Roman Pembaptisan
Baptis baru merupakan langkah awal, bukan tujuan akhir, kita semua tahu. Masa baptis adalah ibarat masa 'roman' atau 'bulan madu'. Pada saat dibaptis, entah sejak masa kanak-kanak (remaja, pemuda) atau sudah dewasa, kita terbuai dan hati kita berbunga-bunga serta bangga karena kita boleh mengenal Kristus sebagai Putra Allah yang menjelma menjadi manusia dan menebus dosa umat manusia. Oleh karena itu kita yakin dan dengan penuh kerelaan (tanpa paksaan dari pihak manapun) mau mengikuti ajaran-ajaran kasih Kristus sebagai jalan, kebenaran dan hidup.
Setelah beberapa saat kemudian menjalani hidup sebagai umat yang beragama (lebih baik lagi kalau 'beriman') katolik, ternyata ditemukan liku-liku hidup yang penuh dengan cobaan dan godaan. Hal ini wajar dan manusiawi sekali. Namun justeru di sinilah saat ujian hidup iman katolik yang sejati. Tuhan mendidik melalui berbagai peristiwa hidup manusiawi yang menimpa dan menempa kesetiaan iman, harapan dan kasih umatNya.
Tak terkecuali awam, imam atau suster/bruder sekalipun akan mengalami pasang-surut hidup beriman karena kita semua adalah manusia yang penuh keterbatasan dan mudah terjerumus pada kesalahan dan dosa insani. Hidup manusia memang multidimensional, mulai dari unsur jasmani, kejiwaan hingga rohani. Tak dapat dipungkiri bahwa manusia selalu mengalami sehat, cedera dan sakit dalam taraf ringan, sedang dan berat silih berganti selama hidupnya. Demikian pula dengan gejolak suasana hati atau kebatinan (=kejiwaan), kadang manusia merasa gembira dan bahagia namun tak jarang pula mengalami kesedihan yang berlarut-larut. Inilah jalan dan kenyataan hidup yang harus dialami, dihadapi dan dilalui oleh setiap manusia.

Ajakan Juruselamat dan Guru Kehidupan
Yesus pun mengalami hidup sebagai manusia biasa sehingga bisa memahami kesulitan hidup manusia dan menawarkan ajakan Juruselamat yang menenteramkan hati: “Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah padaKU, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan bebanKupun ringan.” (Mat 11:28-30).
Bila kita cermati dan simak lebih dalam lagi mengenai ajakan Yesus tersebut, terbersit (tersirat dan tersurat) bahwa manusia memiliki keterbatasan untuk menanggung beban hidup yang berat hingga letih lesu. Yesus menawarkan diri untuk datang menghadapNya dan berjanji akan memberikan kelegaan setelah mendengarkan curahan seluruh isi hati dan keluh kesah umatNya. Salah-satu caranya adalah melakukan 'adorasi' dengan kontemplasi di hadapan tahta Sakramen Mahakudus. Tahapan ini sudah tergolong pada tataran 'penyembuhan' spiritual.
Namun demikian Yesus tidak serta merta memberikan kelegaan dan penyembuhan secara langsung dan sesaat. Yesus mengajarkan dan menyarankan untuk bersikap lemah lembut dan rendah hati sehingga jiwa manusia akan mendapatkan ketenangan. Sikap lemah lembut bukan berarti 'mengalah' dan 'kalah'. Lebih jauh daripada itu yaitu sikap tenggang rasa dan tepo seliro (menempatkan diri sebagai pihak lain) baik terhadap diri sendiri dan orang lain untuk mawas diri. Dengan kata lain dianjurkan untuk menghindari sikap menang atau paling benar sendiri. Konsekuensinya, kita seyogyanya saling menghargai pribadi satu sama lain, bukan merendahkan orang lain dan diri sendiri, namun menerima diri sendiri dan orang lain apa adanya baik kelebihan maupun keterbatasannya. Dengan demikian Yesus mengajarkan dan menganjurkan sikap rendah hati, bukan sikap rendah diri yang pada saatnya akan melukai diri sendiri dan orang lain.
Selanjutnya Yesus menyampaikan pula kiat-kiat untuk menanggung beban hidup yang berat tanpa merasa terbeban, yakni dengan cara menghadapi setiap persoalan hidup bukan sebagai hambatan tapi justeru sebaliknya sebagai tantangan untuk maju. Akibatnya, beban hidup yang ditanggung itu terasa 'enak', tidak 'pahit' dan 'menyakitkan', tentu dalam konteks kematangan hidup rohani, bukan dari sudut pandang hidup jasmaniah dan kejiwaan. Selain itu beban hidup yang dipikul akan terasa 'ringan', dengan mengandaikan cara dan kebiasaan hidup 'baru' yang tidak menuruti hawa nafsu (jasmaniah dan kejiwaan) dan keinginan duniawi yang fana. Hanya ada satu pilihan hidup, yaitu mengabdi Allah atau 'mamon'.

Aral Melintang Kehidupan Aktivis Gereja
Umat katolik yang 'awam' (bukan imam atau suster/bruder) dihadapkan perimbangan antara aktivitas hidup profan dan gereja setiap harinya. Dalam arti, kaum awam disibukkan secara rutin setiap hari dengan kegiatan rumah-tangga (kebersihan, belanja, memasak, cuci pakaian dan semacamnya), berangkat kerja atau sekolah, kegiatan sosial kemasyarakatan atau ekskul (ekstra kurikulum, termasuk berbagai les privat). Hampir pasti dan dapat dikatakan rerata 80% waktu tersita pada kegiatan profan tersebut. Berarti, tinggal 20% waktu tersisa untuk kegiatan gereja, itupun sudah dalam kondisi lelah fisik dan mental.
Kebiasaan hidup sehari-hari tersebut dapat dimaklumi dan menggejala pada seluruh segi kehidupan, terlebih tuntutan jaman kini yang makin tinggi dan berat. Kenyataan hidup ini tentu menyita waktu dan perhatian seluruh umat manusia, termasuk kaum awam katolik. Lalu, bagaimana bisa diharapkan kehidupan iman terpelihara dan berkembang makin dewasa sementara kesibukan duniawi menghimpitnya? Repotnya, kaum awam katolik dituntut 100% katolik sejati sekaligus 100% hidup berkeluarga, mana mungkin?! Mana yang lebih diprioritaskan (didahulukan) antara kehidupan karir/pribadi, keluarga dan gereja? Idealnya, semua kepentingan seyogyanya dapat dipenuhi secara berimbang dan total. Bagaimana caranya dan apa dampaknya?
Persoalannya sekarang, justeru seiring makin berkembang teknologi transportasi dan komunikasi, manusia cenderung terpicu dan terpacu mengejar prestasi daripada relasi. Akibatnya, setiap keluarga rupanya makin merasakan kebahagiaan yang semu, damai tapi gersang, begitu lirik lagu menuturkannya, hubungan antar anggota keluarga makin renggang dan kurang akrab/hangat. Lalu, apa yang bisa diperbuat di tengah situasi dan kondisi yang penuh pertentangan batin ini?

Panggilan Hidup Menggereja
Jawabannya sebetulnya sudah ada dan sederhana sekali namun jarang disadari dan sulit untuk diterapkan, yakni hukum cinta kasih sebagai hukum yang utama mengatasi semua hukum yang lain. Mari kita simak dan renungkan kembali terus menerus jawaban Yesus terhadap pertanyaan ahli taurat dan orang-orang Saduki berikut ini: “Hukum manakah yang paling utama?” Jawab Yesus: “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama daripada kedua hukum ini.” (Mrk 12:29-31).
Sudah sangat Jelas pada jawaban Yesus yang telak tentang hukum cinta kasih yang sekaligus merupakan landasan hidup kita sebagai umat katolik. TUHAN harus dinomorsatukan dan didahulukan dalam dan daripada segala hal, bukan hanya 100% tapi bisa 1000% atau tak terhingga. Apakah kita telah memusatkan perhatian hanya kepada TUHAN dalam seluruh hidup kita sehari-hari? Ironisnya, TUHAN yang kita imani bersama sebagai Raja dan Pencipta Kehidupan dikasihi oleh umatNya (mohon maaf) dalam dan hanya dengan sisa-sisa waktu, tenaga, pikiran, hati, jiwa dan kekuatan manusiawi.
Mari kita renungkan bersama, termasuk penulis. Apakah kita telah hadir dalam setiap perayaan ekaristi minimal setiap hari minggu dengan sepenuh hati atau hanya karena kewajiban rutin semata? Apakah kita rajin menghadiri pertemuan doa dan pendalaman iman di tingkat lingkungan/wilayah setempat? Tidak jarang kita dengar bersama beberapa dalih tidak/terlambat hadir dengan alasan pulang kerja larut malam, anak sibuk belajar karena ujian, suasana doa menjemukan dan seterusnya.
Belum lagi alasan-alasan yang berkedok rohani, seperti rajin berdoa atau aktif di gereja tidak menjamin hidup suci, hidup menggereja juga dapat diwujudkan melalui kegiatan kerja atau sekolah – tidak selalu harus aktif di/ke gereja dan semacamnya. Sikap pribadi semacam ini tergolong kesombongan rohani. Memang benar: ora et labora! Berdoa sekaligus bekerja. Berdoa tanpa bekerja itu omong kosong, seperti iman tanpa perbuatan, atau ekstrimnya 'munafik'. Sebaliknya, bekerja tanpa dijiwai dengan doa itu kering dan gersang, ibarat badan tanpa jiwa dan roh, alias 'robot'. Lalu, mana yang dipilih: bukan berdoa dan bekerja yang timpang namun yang berimbang dan saling meneguhkan! Bagaimana wujud konkritnya?

Dipanggil Bersatu dan Berpadu
Mencuplik dari tema gerakan komunitas ME (Marriage Encounter) tingkat dunia pada tahun 2009 dan 2010, yakni 'called to be one' (dipanggil untuk bersatu) dan 'called by name' (dipanggil masing-masing pribadi secara unik), menarik untuk disimak dan diikuti. Dalam konteks hubungan pasutri (pasangan suami-isteri), dituturkan dalam Kitab Kejadian 2:24-25: “Sebab itu seorang laki- laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Mereka telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi tidak merasa malu”. Artinya, laki dan perempuan meninggalkan orangtuanya setelah menginjak dewasa untuk dipersatukan dalam kasih sebagai suami dan isteri. Mereka bukan lagi dua tetapi 'satu' karena Tuhan mempertemukan suami-isteri sebagai pendamping hidup yang saling mengasihi satu sama lain selamanya. Diharapkan hubungan suami-isteri dapat saling terbuka (tidak ada tedeng aling-aling dan hal yang dirahasiakan lagi di antara keduanya) sehingga sehati dalam cinta.
Demikian pula halnya dengan kita sebagai kaum awam, dipanggil bersama oleh Tuhan dalam ikatan cinta-kasih untuk dipertemukan dan dipersatukan melalui kegiatan dan kehidupan menggereja sesuai dengan karakter dan talenta masing-masing. Rajin dan aktif ke gereja minimal dalam menghadiri misa setiap hari minggu dan doa/pendalaman iman di lingkungan/wilayah, lebih baik lagi jika bersedia dan rela ikut berperanserta sebagai pamong/pengurus umat, bukan karena sudah suci namun justeru sebaliknya kita mempersembahkan diri untuk selalu di-suci-kan bersama sesama umat.
Sebagaimana Yesus bersabda tentang menasihati sesama saudara: “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” (Mat 18:20). Dalam kidung pujian Misa Kamis Putih (PS 498/499) sering dimadahkan pula lagu 'Jika ada cinta kasih, hadirlah Tuhan' ('Ubi caritas est vera, Deus ibi est').
Terkadang kita sebagai aktivis gereja masih mudah terpeleset dan terjerumus pada kebiasaan buruk manusiawi. Meski sudah rajin dan aktif di/ke gereja, bahkan sudah berperanserta sebagai pamong/pengurus gereja (putra altar, pembina, katekis, guru agama, ketua DPP/wilayah/lingkungan, ketua seksi, dirigen/anggota koor, organis, pemazmur, lektor, asisten imam, kolektan/persembahan, tata-tertib, koster, pengurus kelompok doa/ormas/gerakan dan seterusnya) tidak mustahil dapat terjerembab dalam skandal hubungan pernikahan, narkoba, keuangan, kekuasaan, premanisme dan segudang skandal lainnya. Tidak mengherankan, justeru makin dekat hubungan kita dengan Tuhan makin kuat cobaan dan godaan
Kiatnya hanya satu, yakni dibutuhkan ketahanan iman yang diperoleh dari persekutuan sesama umat beriman (awam dan imam serta suster/bruder) untuk saling meneguhkan satu sama lain dalam kasih Tuhan melalui kegiatan dan kehidupan menggereja. Rahmat kasih Tuhan melimpah bagi kita semua. Amin. ( A.J. Tjahjoanggoro )

Jumat, 09 Juli 2010

SCHOLA CANTORUM SURABAIAENSIS


Pernahkan pembaca mendengar: 'SCS'?
SCS adalah singkatan dari Schola Cantorum Surabaiensis, yaitu Kelompok Studi dan Koor Gregorian milik Keuskupan Surabaya, yang pada hari Minggu, 30 Mei 2010 yang lalu, telah genap berumur dua tahun. Tidak kurang dari Uskup Surabaya, Y.M. Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono ikut memberikan restu dan berkatnya pada saat berdirinya SCS pada 30 Mei 2008.

Didirikannya kelompok studi dan koor Gregorian di Keuskupan Surabaya merupakan jawaban atas harapan Paus Benediktus XVI, “Akhirnya, dengan tetap menghargai aneka gaya dan beragam tradisi yang sangat berharga, saya mendambakan, sesuai dengan permintaan yang diajukan oleh para Bapa Sinode, agar nyanyian Gregorian benar-benar dihargai dan digunakan sebagai nyanyian yang sesuai untuk liturgi Romawi.” (Sacramentum Caritatis 42) Sebagaimana tersebut dalam SC. 42 di atas, menyanyikan kembali lagu Gregorian dalam liturgi adalah berdasarkan permintaan dari para Bapa Sinode. Hal ini tentunya tidak terlepas dari latar belakang, bahwa lagu Gregorian adalah merupakan suatu tradisi yang sangat berharga milik Gereja Katolik, yang telah menjadi nyanyian liturgi sejak abad 6.

SEKILAS MENGENAI LAGU GREGORIAN
Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap lagu-lagu / nyanyian-nyanyian liturgi yang lain. Patut disayangkan bila umat Katolik tidak mengenal lagu dan nyanyian Gregorian ini.
Dan terlebih lagi, bila umat Katolik kurang (tidak) menghargainya. Karena lagu Gregorian ini 'sangat pas' dengan suasana dan irama liturgi Gereja Katolik (Misa). Memperhatikan nilai dan makna nyanyian / lagu Gregorian, maka alasan-alasan seperti: 'kuno', 'kolot', ataupun 'tidak mengerti artinya', kiranya sungguh dapat dikesampingkan dan diabaikan. Pepatah Jawa mengatakan ' witing tresna jalaran saka kulina ' ternyata dibuktikan
banyak umat yang menyampaikan kesan, bahwa Lagu-lagu Gregorian yang dinyanyikan dalam Misa ternyata bisa menghantar suasana Misa menjadi lebih khusyuk dan khidmat.

KEANGGOTAAN SCS
Saat ini, fratres SCS (sebutan anggauta SCS yang berarti “saudara”) yang aktif berjumlah 20 (duapuluh) orang sedang yang pernah bermitra dengan SCS berjumlah 43 orang , mereka berasal dari berbagai Paroki di Keuskupan Surabaya.
Huuueebatnya, 11 (sebelas) di antaranya yang masih aktif hingga saat ini berasal dari Paroki Salib Bahkan keempat-empat organisnyapun juga dari Salib Suci. Usia para fratres pun bervariasi, mulai 19 tahun sampai 68 tahun (dan tetap bersemangat!)
Uniknya, banyak di antara fratres itu, yang sebelumnya sama sekali 'tidak bisa' membaca not dan menyanyikan lagu Gregorian, alias 'mulai dari nol, namun seiring berjalannya waktu, dengan komitmen, ketekunan dan kesabaran dalam berlatih, para fratres itupun ternyata menjadi 'mampu' menyanyikan lagu – lagu Gregorian (umat Salib Suci sudah dikenalkan sebagian nyanyian seperti pada buku Bernyanyilah Bagi Allah). Berikut ini kita simak kesan mantan organis kita mengenai SCS :
“SCS membuat saya belajar lebih banyak tentang music klasik Gereja Katolik, khususnya lagu-lag Gregorian. Sebenarnya, waktu kecil Gregorian adalah lagu yang paling saya benci, tetapi ternyata lagu itu keren banget untuk selalu dinyanyikan sepanjang masa! Salut untuk pencetus, pendukung, dan semua umat yang telah berpartisipasi dalam SCS. Semoga SCS selalu siap berkarya di ladang Tuhan dengan segenap talenta dan kesempatan yang telah diberikanNya. Terakhir, terima kasih karena pernah diberi kesempatan mengiringi dan selalu diberi tempat didalamnya setiap saat”. (Enggar)

KIPRAH SCS
Dalam waktu dua tahun sejak dibentuknya, SCS sudah melayani lebih dari 30 Misa dan 100 Ibadat Penutup (completorium), mulai dari Hari Minggu Adven I sampai dengan Hari Raya Kristus Raja. SCS juga melayani Misa dalam Bahasa Latin-Indonesia, yang sudah beberapa kali diselenggarakan di Katedral (jadwal rutin menyanyikan Misa Latin pada minggu ke IV setiap bulan). Disamping itu, SCS juga menyanyi di Misa Perkawinan , Misa Arwah, dan Misa yang diselenggarakan ISKA. Selain di Katedral, SCS juga memenuhi undangan untuk menyanyi ataupun memberikan pelatihan Gregorian di berbagai paroki, dari Kristus Raja, Salib Suci, Gembala Yang Baik, Santo Yakobus dan Sakramen Mahakudus, sampai ke Santa Maria Annuntiata di Sidoarjo.

ANDA TERTARIk? SILAHKAN BERGABUNG . . . . !
Dilatar-belakangi minat dan semangat untuk menjaga dan memelihara tradisi dalam Gereja Katolik yang kaya makna, SCS mengajak siapa saja yang mempunyai komitmen bernyanyi untuk bergabung.
Selain berlatih, ikut berpartisipasi dalam Misa, di sini kita juga belajar dan mengenal mengenai 'kekayaan' Gereja Katolik yang penuh makna.

Untuk keterangan lebih lanjut tentang SCS, pembaca dapat menghubungi Bapak Stefanus Tri Budi di 0811-307-303.

Selasa, 06 Juli 2010

Biarlah anak-anak datang padaKu,...(dengan tertib)

1. PENGANTAR
Dalam suatu kesempatan, setelah misa, terjadi dialog di antara beberapa orang berkaitan dengan situasi misa yang baru mereka ikuti.
Rupanya. tema panas yang sedang mereka perbincangkan adalah mengenai sikap Romo yang terkesan reaktif, saat mendengar suara ramai anak-anak pada saat ibadat sedang berlangsung.
Bahkan, pada saat itu, Romo langsung mengangkat muka dan mengarahkan pandangannya ke arah asal sara itu (dan tentunya, misa sejenak terhenti).
Inilah pokok masalahnya.
Rupanya para peserta dialog tidak resmi itu sepakat, bahwa Romo terlalu kaku. Bahkan sepakat pula dalam memberikan kesan dan penilaian bahwa Romo tidak suka kepada anak-anak.
Celoteh lebih jauh lagi (mdah-mudahan maksudnya bergurau), bahwa: Romo bersikap seperti itu, tidak suka kepada anak-anak karena Romo tidak pernah merasakan punya anak, tidak pernah merasakan menjadi orang tua. Lebih hebat lagi, bahkan mereka mengutip ayat Kitab Suci. Katanya: “Bukankah dalam Kitab Suci tertulis, bahwa Yesus memarahi orang yang menghalangi anak-anak yang datang kepada-Nya?”
Dalam kesempatan ini, mari kita mencermati dengan sedikit sabar dan cermat, apa yang sebenarnya terjadi.

2. CIRI dan SUASANA MISA
Tentu perlu kita menyamakan pemikiran terlebih dahulu, bahwa ‘MISA’ adalah satu bentuk ibadat.
Dan misa, dalam tata liturginya,harus mengikuti tata aturan yang telah ditetapkan (antara lain: Tata Perayaan Ekaristi, Pedoman Umum Misa Romawi, Sacrosanctum Concilium, dan lain sebagainya).
Semua itu bertujuan demi terciptanya suasana misa yang sakral namun partisipatif, meriah namun tertib, khusyuk dan tentunya, dengan segala tata-gerak dan sikap hati yang pantas penuh penghayatan.
Ciri dan suasana ini tetap hars ada pada setiap misa, baik misa dengan intensi gembira (misalnya: ulang tahun) ataupn dengan intensi sedih (kematian, dll.).

3. REFLEKSI SITUASI DALAM KITAB SUCI
“Bukankah Kitab Suci tertulis, bahwa Yesus memarahi orang yang menghalangi anak-anak yang datang kepada-Nya?”
Demikianlah penggalan dialog di atas.
Tentu yang dimaksud oleh umat tersebut adalah Mrk.10:14:
Ketika Yesus melihat hal itu, Ia marah, dan berkata kepada mereka: “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, dan jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah” atau Luk. 18:16:
Tetapi Yesus memanggil mereka dan berkata: “Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, dan jangan kamu menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.
Atas ayat-ayat itu, baiklah kita sejenak mundur, melihat situasi dan latar-belakang (alasan) Yesus mengeluar-kan kata-kata itu.
Latar belakang siatuasi yang ada pada saat itu adalah: Yesus selesai bertanya-jawab dengan orang Farisi, dan sudah sampai di rumah, saat di rumah itulah, para murid dan Yesus membahas kembali tema pembicaraan yang terjadi dengan orang Farisi tadi. Ketika itulah, ada orang yang mebawa anaknya kepada Yesus, dengan tujuan agar Yesus menjamah anak itu.
Penting kita perhatikan, bahwa suasana / situasi pada waktu itu bukan saat ibadah. Situasi itu terjadi di luar saat ibadah.
Memang ada suatu yang menarik dalam ayat itu bila kita melihat aspek budaya / kebiasaan orang Yahudi.
Dalam tata cara / sopan santun orang Yahudi, pada saat orang-orang dewasa (yang bukan keluarga) sedang berbicara, anak-anak tidaklah terlibat dalam pembicaraan itu.
Dalam konteks ini, seolah Yesus ingin menyampaikan dan mengingatkan kita bahwa anak-anakpun merupakan bagian dari Kerajaan Allah. Terlebih lagi bila kita melihat apa yang ada pada anak-anak kecil, tidak lain adalah: polos, jujur, membutuhkan bimbingan dan perlindungan, jauh dari sikap sombong dan menyombongkan diri.

4. REFLEKSI SITUASI KONTEKSTUAL
Kembali kita menengok pembicaraan / dialog antar-umat di atas. Situasi yang mereka bahas adalah situasi ‘pada saat misa beerlangsung’.
Ini adalah latar belakang yang berbeda dengan siatuasi atau latar belakang suasana yang ada pada ayat yang dikutip.
Misa adalah suatu ibadah.
Suasana dalam misa, tentunya adalah suasana ibadah.
Dan Misa, mempunyai dan harus berlangsung dalam ciri dan suasana yang khas sebagaimana tertulis di atas.
Maka, kata-kata / kalimat: “Bukankah dalam Kitab Suci tertulis, bahwa Yesus memarahi orang yang menghalangi anak-anak yang datang kepada-Nya?”, tidaklah tepat untuk dipakai dalam konteks pembicaraan / dialog di atas.
Di sini rupanya terjadi pengutipan yang ‘tidak pas’, karena situasi dan kondisi pada saat Yesus berbicara tidak sama/tidak identik dengan situasi dan kondisi pada saat Misa.

5. BAGAIMANA SEHARUSNYA . . . . . ?
‘Membawa anak-anak kepada Yesus’ adalah suatu tindakan dan kebiasaan yang baik, bahkan kita merasa’ wajib’.
Ada banyak cara utnuk membawa anak-anak kepada Yesus. Bisa dengan pengajaran agama, bisa dengan membiasakan berdoa, atau dengan membiasakan membawa mereka ke gereja, mengikuti Perayaan Ekaristi / Misa.
Namun, masing-masing cara itu tentu perlu dilakukan dengan menyesuaikan kondisi.
Nah, inilah yang sebenarnya menjadi sorotan yang perlu dicermati.
Membawa serta anak-anak untuk mengikuti Perayaan Ekaristi / Misa, tentunya orangtua harus menyesuaikan dengan suasana Misa yang seharusnya dibentuk.
Di sinilah para orangtua, sebagai umat, wajib untuk ikut menjaga, agar suasana dalam Misa tidak terganggu oleh ulah / celoteh anak (-anak)nya.
Bentuk gangguan itu bisa berupa tindakan ataupun suara. Dan dampak gangguan bisa terhadap terpecahnya konsentrasi Romo, atau sesama umat yang sedang khusyuk mengikuti misa.
Dalam hal ini, para orangtua seharusnya mencoba memaknai kata-kata: Membawa kepada Yesus.

Mengikut-sertakan anak dalam Misa, memang sekilas bisa diartikan: Membawa kepada Yesus.
Namun ada yang lebih esensi dari sekedar: pokoknya ikut Misa di dalam gereja, berarti datang kepada Yesus.
Kita tentu mengerti (seharusnya mengerti...?) bahwa untuk mengikuti Misa, kita perlu persiapan, baik persiapan panjang (mulai dari hari-hari sebelumnya) maupun persiapan pendek (beberapa saat setelah kita berada di dalam Gereja).
Perlunya persiapan itu tentunya agar kita ‘layak’ mengikuti Perayaan Misa Kudus itu, baik secara fisik-ragawi, maupun secara jiwa-spiritual.
Dan itu semua diperlukan agar kita benar-benar dapat mengikuti dengan baik dan penuh penghayatan setiap tahapan dari Misa itu. Untuk itulah perlu suasana yang tertib.
Menjaga suasana tertib itu menjadi kewajiban semua umat yang ikut merayakan Misa.
Dengan ketertiban, Misa dapat terlaksana dengan semestinya, baik dari sisi Imam maupun umat.
Dalam konteks yang kita bahas, bila dalam / selama berlangsungnya Misa, banyak terjadi tangisan / jerutan / teriakan anak-anak, maka tentu suasa tertib sudah tidak ada lagi. Dalam hal yang demikian, bukan hanya Imam yang bisa terganggu. Umat yang lainpun terganggu, hilang konsentrasinya, merasa tidak nyaman, dan akhirnya tidak bisa mengikuti Misa dengan baik. Inilah yang harus kita hindari.
Karenanya setiap umat wajib menjaga ketertiban, bukan malah menciptakan ketidak-tertiban (baik karena diri sendiri maupun karena anak-anaknya) yang bisa menciderai kesakralan Misa.
‘Membawa anak-anak kepada Yesus’ dalam konteks Misa, selain berarti membiasakan anak-anak untuk merayakan Ekaristi, juga harus berarti membiasakan / mengajarkan kepada anak-anak untuk menghayati dan mengikuti Misa dengan tertib.
Bagaimana dengan anak-anak yang belum memahami arti ‘tertib’, ‘tenang’ (anak-anak usia di bawah 3 tahun, misalnya)?
Nah, di gereja Salib Suci ada Balai Paroki, Lantai 1 dan Lantai 2 yang bisa dipakai, sedemikian sehingga Perayaan Ekaristi bisa berlangsung dengan baik.

6. PENUTUP
“Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, . . . . “
Kata-kata Yesus itu sesungguhnya merupakan tantangan bagi kita, bagaimana kita bisa dan mau mendidik anak-anak, antara lain untuk mengikuti Ekaristi dengan layak.
Kata-kata Yesus itu bukanlah dalih yang bisa kita pakai kertika anak-anak kita membuat kegaduhan yang menciderai suasana Misa.
Perlu kita menyadari, bahwa umat yang lain, perlu juga ‘datang kepada Yesus’. Mereka perlu suasana yang baik agar bisa menghayati Misa dengan baik dan layak.
Mereka berhak untuk tidak terganggu, termasuk gangguan yang ditimbulkan oleh suara dan tingkah anak-anak.
Semoga kita bisa berbenah bersama.(SSA)

Sejenak mohon perhatian

Senin, 28 Juni 2010

KOMUNI DI TANGAN,..MENGAPA ?

MAKLUMAT DARI KONGREGASI UNTUK IBADAT ILAHI DAN TATA TERTIB SAKRAMEN MENGENAI KOMUNI DI TANGAN

Tahta Suci, sejak 1969, seraya mempertahankan cara tradisional dalam membagikan komuni, juga memberikan kepada Konferensi-konferensi Waligereja yang memintanya, fasilitas untuk membagikan komuni dengan menempatkan hosti di tangan umat beriman.

Fasilitas ini ditetapkan dengan Instruksi Memoriale Domini dan Instruksi Immensae caritatis (29 Mei 1969: AAS 61, 1969, 541-546; 29 Januari 1973; AAS 65, 1973, 264-271) dan dengan Ritual De sacra Communione yang diterbitkan 21 Juni 1973, n. 21. Namun demikian, tampaknya tepat untuk memberikan perhatian pada point-point berikut:

1. Komuni di tangan hendaknya menunjukkan, sama seperti komuni di lidah, penghormatan yang pantas terhadap kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi. Oleh karena alasan ini hendaknya diberikan penekanan, seperti yang dilakukan oleh para Bapa Gereja, pada wibawa gerakan orang yang menyambut komuni. Demikianlah, pada akhir abad keempat kepada mereka yang baru dibaptis diajarkan untuk mengulurkan kedua tangan, “tangan kiri sebagai tahta bagi tangan kanan, yang menyambut sang Raja” (Katekese mistagogis Yerusalem yang kelima, n. 21: PG 33, kol. 1125, atau Sources chret., 126, h. 171; St Yohanes Krisostomus, Homili 47: PG 63, kol. 898, dll.) (Dalam praktek, petunjuk yang sebaliknya yang harus diberikan kepada umat beriman: tangan kiri ditempatkan di atas tangan kanan, agar hosti kudus dapat dimasukkan ke dalam mulut dengan tangan kanan.)

2. Lagi, seturut ajaran para Bapa Gereja, penekanan perlu diberikan atas pentingnya kata “Amin” sebagai tanggapan atas rumusan pelayan komuni, “Tubuh Kristus”; Amin ini adalah suatu penegasan iman: “Cum ergo petieris, dicit tibi sacerdos `Corpus Christi’ et tu dicis `Amen’, hoc est `verum’; quod confitetur lingua, teneat affectus” (St Ambrosius De Sacramentis, 4, 25: SC 25 bis, h. 116).

3. Orang yang menyambut komuni, yang telah menerima Ekaristi di tangan, wajib menyantap hosti sebelum kembali ke tempatnya, mengambil satu langkah ke samping dengan tetap menatap altar, demi memungkinkan orang berikutnya datang kepada pelayan.

4. Dari Gereja-lah umat beriman menyambut Ekaristi kudus, yang adalah communio dalam Tubuh Tuhan dan dalam Gereja; oleh sebab itu orang yang menyambut komuni tidak diperkenankan mengambil dari patena atau siborium, seperti yang akan dilakukan orang terhadap roti biasa, melainkan kedua tangan wajib diulurkan untuk menyambut komuni dari pelayan komuni.

5. Demi hormat terhadap Ekaristi, tangan wajib bersih, anak-anak perlu diingatkan akan hal ini.

6. Penting bahwa umat beriman menerima katekese yang efektif mengenai masalah ini, dan bahwa penekanan perlu diberikan atas perasaan sembah sujud dan hormat yang pantas terhadap Sakramen Mahakudus ini (bdk. Dominicae cenae, n. 11). Wajib diberikan perhatian agar serpihan hosti yang telah dikonsekrasikan tidak hilang (bdk. Kongregasi untuk Ajaran Iman, 2 Mei 1972: Prot. N. 89/71, in Notitiae 1972, h. 227).

7. Umat beriman tidak diwajibkan menerapkan praktek komuni di tangan; setiap umat beriman bebas untuk menyambut komuni di lidah atau di tangan.

Ketentuan-ketentuan ini dan juga ketentuan-ketentuan seperti dinyatakan dalam dokumen-dokumen yang disebutkan di atas bertujuan untuk mengingatkan kembali kewajiban untuk menghormati Ekaristi dan menerapkan secara independen cara dengan mana komuni disambut.

Mereka yang berkewajiban untuk memelihara jiwa-jiwa wajib menekankan tidak hanya pentingnya disposisi batin bagi penerimaan komuni yang bermanfaat, yang dalam perkara-perkara khusus membutuhkan pertolongan Sakramen Rekonsiliasi, melainkan juga sikap lahiriah yang mengungkapkan rasa hormat pada umumnya dan mengekspresikan secara istimewa keyakinan umat beriman terhadap Ekaristi.

Segera Terbit "MAWASS" Edisi 6

Membuat Tanda Salib,..untuk apa ?

“ Hidup kita diawali dengan Tanda Salib dan diakhiri pula dengan Tanda Salib…….”
(Rm. Heribertus, SVD. : Pengantar Misa II – Hari Raya Tritunggal Mahakudus, 30 Mei 2010)


I. PENGANTAR
Priiiitttttt, Peluit piala dunia telah ditiup. Genderang laga sepak bola dunia akan memukau jutaan pasang mata di seluruh belahan bumi. Di arena itu kita lihat pula bertaburan pemain yang memasuki arena dengan membuat Tanda Salib, atau teriakan gembira disertai Tanda Salib setelah gol tercipta. Kita bangga sambil menduga, “Pemain itu pasti Katolik”. Tapi tunggu dulu….. kenapa ada gerakan Tanda Salib yang tidak sama dengan yang kita lakukan? Apakah Tanda Salib yang tidak sama itu mempunyai makna yang sama? Lalu apa arti Tanda Salib??? Menurut pelajaran agama di sekolah minggu, garis lurus dari atas ke bawah melambangkan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan – garis horisontal menyamping melambangkan hubungan antar sesama manusia. Keduanya harus seimbang, tidak miring-miring, sebagaimana harusnya relasi kita dengan Tuhan dan sesama. Hanya itu sajakah????
Dalam tulisan ini kita akan mencoba masuk lebih dalam lagi memahami Tanda Salib.
Benarkah Tanda Salib HANYA dilakukan oleh orang Katolik saja??? Apakah Tanda Salib ini mempunyai akar Alkitabiah? Apakah jemaat perdana juga menandai diri dengan Tanda Salib ? Bagaimana pandangan para bapa Gereja mengenai Tanda Salibi? Apa makna sesungguhnya yang terkandung dalam Tanda ini? Bagaimana seharusnya Tanda Salib ini dilakukan?
Semoga tulisan ini memperkaya pemahaman kita akan tradisi maupun teologi Katolik yang benar.

II. TANDA SALIB : TIDAK MELULU KATOLIK
Tanda Salib merupakan ritual gerakan tangan khas beberapa Gereja Kristen, meski tidak semua kelompok Kristen melakukannya. Ritual ini dilakukan dengan membuat gerakan simbol salib di udara atau di atas tubuh seseorang / sesuatu, disertai pengucapan rumusan Trinitaris. Tanda Salib senantiasa berhubungan dengan Misteri Keselamatan yang dilaksanakan Yesus secara paripurna melalui kematianNya di kayu salib Kalvari.
Tanda Salib bukan melulu milik jemaat Katolik Roma/Latin. Dengan berbagai variasinya, Tanda Salib digunakan juga oleh Gereja Barat lain (Anglikan, Lutheran, Episcopal, Presbiterian dan Metodis), Gereja Katolik Ortodox Ritus Timur , dan Ortodox Oriental. Gereja Evangelist dan Protestant modern sangat jarang menggunakan tanda ini, meski dalam katekismus kecilnya, Martin Luther merekomendasikan agar umat membuat Tanda Salib di saat tidur dan di saat bangun tidur. Beberapa reformis menolak Tanda Salib karena menganggapnya sebagai bagian dari praktek Gereja Katolik yang tanpa dasar biblis. Benarkah demikian?.....bersambung
I k u t i s e l e n g k a p n y a d i M a j a l a h M A W A S S e d i s i 6

Rabu, 16 Juni 2010

KIAMAT 2012

tinjauan atas ramalan akhir zaman menurut ajaran gereja

Pengantar

Tahun 2012 retakan besar membelah California, sementara itu gunung api Yellowstone meletus menghancurkan kota LasVegas. Gelombang Tsunami menghantam New York City, menenggelamkan Patung Liberty, menyapu Gedung Putih. Gempa bumi menghancurkan kota Buenos Aires dan Rio De Janeiro di Amerika Selatan. Patung Yesus Penebus di Rio De Janeiro roboh, dan Basilika Santo Petrus di Vatikan pun luluh lantak. Organisasi rahasia yaitu IHC (Institute for Human Continuity) membangun bahtera besar di bawah pegunungan Himalaya sebagai tempat penyelamatan manusia dan hewan. Jangan terkejut, ini hanya terjadi di film 2012, film yang diproduksi oleh Columbia Pictures, karya sutradara Roland Emmerich ini mengangkat tema kiamat berdasarkan perhitungan kalender suku maya yang berakhir pada 21 Desember 2012.

Bagaimana sikap kita sebagai orang Katolik atas berbagai macam ramalan akhir zaman, baik terhadap ramalan yang menggunakan ayat-ayat kitab suci ataupun yang tidak ?

Bacaan Injil juga tentang ”akhir zaman”

Film ini diputar serentak di kota-kota besar mulai minggu ke-2 bulan November 2009, dimana pada hari minggu tanggal 15 November 2009 di seluruh Gereja Katolik dibacakan Injil Markus tentang ”akhir zaman” (Mrk 13:24-32). Bagi sebagian orang yang tidak mengenal kalender liturgi gereja, dengan mudah akan mengira bahwa Gereja Katolik merespon film ini, padahal dalam gereja-gereja yang mengikuti tahun liturgi, bagian kitab suci yang dibacakan tiap hari Minggu (bahkan tiap hari) telah diatur dalam sebuah daftar yang dalam Gereja Katolik Roma disebut Ordo Lectionum Missae (Daftar Bacaan Misa). Artinya setiap minggu ke-33 masa biasa tahun B akan selalu dibacakan bacaan ini, dan pada tahun 2012 nanti siklus kalender litugi kembali ke tahun B (2010:tahun C; 2011:tahun A dan 2012 tahun B), maka pada bulan November 2012 nanti kembali di seluruh Gereja Katolik akan dibacakan bacaan tentang ”akhir zaman”, tapi bukan karena adanya ramalan bahwa hari kiamat akan terjadi beberapa minggu kemudian.

Hari kiamat memang sudah pasti akan terjadi, sejak kenaikan Yesus ke Surga rencana Allah mulai dipenuhi, pembaharuan dunia telah ditetapkan, tak dapat dibatalkan.[1] Hanya saja kita tidak tahu masa dan waktu yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kekuasaan-Nya (Kis 1:7;bdk. Mrk 13:32; Mat 24:44; 1Tes 5:2.). Kedatangan eskatologis ini dapat terjadi setiap saat.[2] Namun, sebelum kedatangan Kristus, Gereja harus mengalami ujian terakhir yang akan menggoyahkan iman banyak orang (bdk. Luk 18:8; Mat 24:12.)[3], dan pada hari pengadilan, pada hari kiamat, Kristus akan datang dalam kemuliaan-Nya, untuk menentukan kemenangan kebaikan secara definitif atas kejahatan, yang dalam perjalanan sejarah hidup berdampingan bagaikan gandum dan lalang di ladang yang sama[4] dan pada waktunya lalang akan terlebih dahulu dikumpulkan, diikat dan dibakar, kemudian baru gandum dikumpulkan masuk ke dalam lumbung (bdk. Mat 13:24-30).

Apokaliptik

Dalam film 2012, digambarkan kejadian akhir zaman dengan berbagai macam bencana, dan datangnya air bah (tsunami), mirip dengan kisah Nuh, merekapun menyelamatkan diri dengan bahtera besar, berlayar untuk menemukan daratan sebagai bumi yang baru dan langit yang baru. Seperti apakah kiamat menurut ajaran gereja ?

Tidak ada yang mampu menggambarkan apa yang terjadi pada hari kiamat, sebab apa yang akan terjadi pada hari itu tidak sama ataupun mirip dengan apa yang telah terjadi dan sudah dialami manusia dalam sejarah di bumi ini. Para rasul dan pengarang Injil hanya meminjam bahasa kiasan dari Alkitab Ibrani dan sastra Wahyu Yahudi untuk menunjukan peristiwa akhir itu yang digambarkan sebagai goncangan kosmis yang melanda seluruh jagat raya.

Markus dan Matius sama-sama menggambarkan pada hari itu matahari akan menjadi gelap dan bulan tidak bercahaya, bintang-bintang akan berjatuhan dari langit, dan kuasa-kuasa langit akan goncang (Mrk 13:24-25; Mat 24:29). Lukas melukiskan pada hari itu akan ada tanda-tanda pada matahari dan bulan dan bintang-bintang, dan di bumi bangsa-bangsa akan takut dan bingung menghadapi deru dan gelora laut. Orang mati ketakutan karena kecemasan atas segala apa yang menimpa bumi ini, kuasa-kuasa langit akan goncang (Luk 21:25-26). Sedangkan menurut Petrus pada hari itu langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap (2 Petrus 3:10).

Gambaran apokaliptik ini tidak bermaksud melaporkan kejadian-kejadian kosmis sebagaimana akan terjadi, tetapi merupakan bahasa lambang yang diambil dari nabi-nabi (Yes 13:10, 34:4; Yl 2:10,31,3:15; Yeh 32:7-8) untuk mengungkapkan bahwa dunia lama akan dirombak Allah menjadi bumi dan langit yang baru.[5] Tanda-tanda itu adalah setumpuk gambaran-gambaran yang tidak dapat dan tidak boleh dipahami secara harafiah sebagai lukisan satu demi satu tentang skenario akhir zaman. Inti hari kiamat bukanlah kehancuran benda-benda langit tersebut, melainkan kedatangan Anak Manusia.

Parusia

Ketika Yesus naik ke surga, para malaikat sudah mengatakan kepada para rasul ”Yesus yang terangkat ke surga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke surga”(Kis. 1:11). Gereja perdana yakin bahwa ”Kristus harus tinggal di surga sampai waktu pemulihan segala sesuatu”(Kis.3:21), tetapi pada akhir zaman Ia akan menampakan diri. ”Pada waktu itu orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan-awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya. Pada waktu itupun Ia menyuruh keluar malaikat-malaikat-Nya dan akan mengumpulkan orang-orang pilihan-Nya dari keempat penjuru bumi, dari ujung bumi sampai ujung langit” (Mrk.13:26-27; bdk. Luk.17:22-30;21:25-36). Yesus dinantikan kedatangan-Nya kembali pada akhir zaman (lihat Mat.19:28; 24:3; Mrk.13:26; 1Tes.2:19; 3:13; 4:15; 5:23; 1Kor.1:17;15:23; 1Ptr.1:7), dan dalam doa jemaat perdana juga ditandai oleh pengharapan itu : Maranatha, ”Amin, datanglah Tuhan Yesus” (Why.22:20; bdk.1Kor.16:22).

Kata parusia berasal dari kata Yunani parousia yang berarti ”kedatangan” atau ”kehadiran”, dalam bahasa Yunani Hellenistik, dapat berarti ”kunjungan resmi seorang raja”. Kata ini tidak digunakan untuk menunjuk pada kedatangan-Nya yang pertama. Ajaran Perjanjian Baru tentang Parusia dapat diringkas sebagai berikut [6]:

1. Parusia akan terjadi ”pada akhir zaman”, dalam arti ini parusia berbeda dengan kedatangan-kedatangan Yesus yang lain, misalnya kedatangan-Nya dalam daging, dalam rahmat, dalam Ekaristi dan pada saat kematian kita.

2. Yesus sendiri akan datang dalam wujud pribadi-Nya, bukan dalam wujud wakil-Nya (entah malaikat entah manusia): ”Mereka akan melihat Anak Manusia itu datang di atas awan-awan di langit”(Mat 24:30).

3. Kedatangan-Nya akan didahului oleh segala macam tanda.

4. Kedatangan-Nya dapat dikenali dan terjadi di muka umum (bukan rahasia dan sembunyi-sembunyi).

5. Kedatangan-Nya penuh kekuasaan dan kemuliaan: Ia, dengan kata-kata Wahyu, Yang menunggang kuda putih, Raja semua raja dan Tuan semua tuan (Why 19).

6. Meski didahului oleh tanda-tanda itu, parusia akan terjadi secara mendadak dan tidak terduga:”Hari Tuhan datang seperti pencuri pada malam hari”(1Tes 5:2).

Pengadilan terakhir

Pengadilan terakhir akan berlangsung pada kedatangan kembali Kristus yang mulia. Hanya Bapa yang mengetahui hari dan jam, Ia sendiri menentukan, kapan itu akan terjadi. Lalu, melalui Putera-Nya Yesus Kristus Ia akan menilai secara definitif seluruh sejarah.[7] Sesudah kebangkitan semua orang mati "baik orang yang benar maupun yang tidak benar" (Kis 24:15), menyusullah pengadilan terakhir. Itulah saatnya, di mana "semua orang yang di dalam kubur akan mendengar suara-Nya. Dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum" (Yoh 5:28-29). Lalu, "Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya dan semua malaikat bersama-sama dengan Dia. ... Lalu semua bangsa akan dikumpulkan di hadapan-Nya dan Ia akan memisahkan mereka seorang dari pada seorang, sama seperti gembala memisahkan domba dari kambing. Ia akan menempatkan domba-domba di sebelah kanan-Nya dan kambing-kambing di sebelah kiri-Nya. ... Dan mereka ini akan masuk ke tempat siksaan yang kekal, tetapi orang benar ke dalam hidup kekal" (Mat 25:31.32-33.46).[8]

Kabar mengenai pengadilan terakhir membuktikan 2 hal yaitu[9] :

1. bahwa keadilan Allah akan menang atas segala ketidak-adilan yang dilakukan oleh makhluk ciptaan-Nya, dan

2. bahwa cinta-Nya lebih besar dari kematian.

Kabar mengenai pengadilan terakhir bertujuan[10] :

1. mengajak kita supaya bertobat, selama Allah masih memberi kepada mereka "waktu rahmat", satu "hari penyelamatan" (2 Kor 6:2).

2. membangkitkan ketakutan suci akan Allah.

3. mewajibkan orang melakukan keadilan Kerajaan Allah.

Langit yang baru dan bumi yang baru

Sesudah pengadilan umum, semua orang yang benar, yang dimuliakan dengan jiwa dan badannya, akan memerintah bersama Kristus sampai selama-lamanya, dan semesta alam akan dibaharui.[11] Kitab Suci melukiskan pembaharuan yang penuh rahasia itu, yang akan mengubah umat manusia dan dunia, sebagai "langit yang baru dan bumi yang baru" (2 Ptr 3:13).[12] Sejauh menyangkut kosmos, maka menurut wahyu, akan terdapat satu persekutuan nasib yang mendalam antara dunia material dan manusia.[13] Maka alam semesta yang tampak, juga ditentukan untuk dibaharui, "supaya dunia, setelah dikembalikan kepada keadaannya yang semula, tanpa halangan apa pun dapat melayani orang-orang benar" (Ireneus, haer. 5,32, 1).[14] Kita tidak mengetahui, bilamana dunia dan umat manusia akan mencapai kesudahannya; tidak tahu pula, bagaimana alam semesta akan diubah. Dunia seperti yang kita kenal sekarang, dan telah rusak akibat dosa, akan berlalu. Tetapi kita terima ajaran bahwa Allah menyiapkan tempat tinggal baru dan bumi yang baru, kediaman keadilan, yang kebahagiaannya akan memenuhi dan melampaui segala kerinduan akan kedamaian, yang timbul dalam hati manusia (GS 39, 1).[15]

Kalau Allah menjadikan "semuanya baru" (Why 21:5) dalam Yerusalem surgawi, Ia akan mempunyai tempat tinggal-Nya di antara manusia. "Ia akan menghapuskan segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita. Sebab segala sesuatu yang lama itu sudah berlalu" (Why 21:4).[16] Bagi kita, penyempurnaan ini akan menjadi perwujudan akhir kesatuan bangsa manusia, yang dikehendaki Allah sejak penciptaan dan yang diragakan Gereja musafir dalam bentuk "sakramen" (LG 1). Mereka yang disatukan dengan Kristus akan membentuk satu persekutuan orang-orang tertebus, "kota suci Allah" (Why 21:2), "mempelai Anak Domba" (Why 21:9). Persekutuan ini tidak akan menderita lagi karena dosa, ketidak-murnian (Bdk. Why 21:27.), cinta diri, yang merusakkan persekutuan manusia di dunia ini atau melukainya. Pandangan yang membahagiakan, di mana Allah membuka Diri kepada orang-orang pilihan secara tidak terbatas, akan merupakan sumber kebahagiaan, perdamaian, dan persekutuan, yang tidak pernah kering.

Namun, jangan karena mendambakan dunia baru membuat kita melemahkan perhatian kita untuk mengolah dunia ini, sebaliknya justru kita harus semakin memberi perhatian pada kemajuan dunia ini, sejauh membantu untuk mengatur masyarakat manusia secara lebih baik. (bdk. GS 39,2)[17]

Sikap kita

Ketika Yesus duduk di atas Bukit Zaitun, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya untuk bercakap-cakap sendirian dengan Dia. Kata mereka: "Katakanlah kepada kami, bilamanakah itu akan terjadi dan apakah tanda kedatangan-Mu dan tanda kesudahan dunia?" Jawab Yesus kepada mereka: "Waspadalah supaya jangan ada orang yang menyesatkan kamu! (Mat 24:3-4).

Meski Yesus telah menyatakan secara eksplisit : ”Tetapi tentang hari dan saat itu tidak seorang pun yang tahu, malaikat-malaikat di surga tidak, dan Anak pun tidak, hanya Bapa sendiri” (Mat 24:36), namun sepanjang sejarah muncul sejumlah orang yang meramalkan waktu akhir zaman, sebagian bahkan secara berani mengaku memperoleh wahyu-wahyu rahasia dari Tuhan sendiri.

Dalam Wahyu 20:2 dikatakan bahwa setan diikat untuk 1000 tahun, dan selanjutnya dalam ayat 5 dikatakan ”Orang-orang mati tidak bangkit sebelum berakhir masa 1000 tahun itu”. Dari teks itu, berulangkali dalam sejarah Gereja timbul pandangan yang disebut khiliasme (bahasa Yunani, khilias = 1000), mulai dengan Montaisme (abad ke-2) sampai dengan kaum Adventis dan saksi Yehova. Ajaran mereka ialah bahwa kedatangan Kristus dalam kemuliaan akan terjadi sesudah Kristus meraja di dunia selama 1000 tahun. Ada orang lain yang mengajarkan bahwa sekarang sudah ada kerajaan 1000 tahun itu, dan bahwa akhir zaman akan datang dengan segera. Yang paling penting ialah bahwa dalam pengharapan mereka tekanan tidak ada pada pribadi Kristus, tetapi pada kemuliaan kerajaan-Nya, yang tentu juga akan dinikmati oleh pengikut-Nya. Yesus dengan jelas mengatakan bahwa ”tentang hari atau saat itu tidak seorangpun yang tahu” (Mrk 13:32). Dengan demikian, semua pikiran dan teori mengenai akhir zaman sebetulnya tidak punya dasar dan terutama tidak berguna serta penggambarannya sering bersifat fantastis.[18]

Gambaran fantastis yang kita terima dari film 2012 mengenai keadaan akhir zaman membuat kita merasa ngeri, dalam sejarah kehidupan manusia ada saja orang yang menggunakan ayat-ayat dalam kitab suci untuk meramal dan menggambarkan keadaan akhir zaman dengan gambaran kengerian, sehingga kitapun bertanya: ”Bukankah Injil adalah kabar gembira ?, bila demikian mengapa justru menampilkan sesuatu yang menakutkan ?”

Simak apa yang disampaikan oleh Romo Heribert pada kata pembuka misa ke-2 tanggal 15 November 2009 lalu: ”Tahun Liturgi hampir berakhir, kini Liturgi membicarakan akhir dunia. Suatu pesan yang agak mengejutkan juga. Tetapi itupun Injil, artinya warta gembira. Kita tahu, tiada kebinasaan satupun merupakan akhir segalanya, dan bahwa pekerjaan dan pembangunan kita bersifat sementara. Sebab sekali waktu Putera Manusia akan datang dan barangsiapa hidup baik, akan bersinar bagaikan matahari dan akan hidup kekal. Itulah warta baik, warta bahwa sesudah hujan terbitlah terang, sesudah salib kebangkitan, dan sesudah hidup ini maka cinta kasih akan jaya, sebab Kristus telah mengalahkan segala kejahatan.”

Memang, sifat kita adalah ingin tahu dan mudah percaya, kegagalan-kegagalan yang terjadi berkali-kali di masa lalu tidak membuat orang jera untuk mencoba meramalkan kembali. Mereka berpikir kali ini tidak akan meleset, banyak orang telah mempercayai beberapa ramalan akhir dunia pada waktu itu, namun tidak pernah terjadi. Jelas sampai dengan artikel ini dibaca semua ramalan tentang akhir zaman terbukti tidak benar, namun sekarang ini ramai dibicarakan soal prediksi bahwa tahun 2012 dunia akan mengalami akhir zaman.

Dalam hal ini, bijaksanalah memperhatikan nasehat rohani Thomas Aquinas mengenai ramalan-ramalan akhir zaman, dengan menunjuk pada Matius 24:36, St. Thomas berkata:”Sebab apa yang tidak mau dikatakan oleh Yesus kepada para rasul, tidak akan dinyatakan-Nya kepada orang-orang lain. Maka dari itu, semua orang yang telah tersesat menaksirkan waktu yang telah disebutkan sebelumnya telah terbukti sampai sekarang ini tidak benar ... Ketidakbenaran taksiran-taksiran itu jelas, seperti halnya akan menjadi jelas ketidakbenaran orang-orang yang sekarang ini tidak berhenti menaksir-naksir[19]

Penutup

Dalam Alkitab tidak ada petunjuk tentang kapan hari kiamat itu harus tiba. Bahkan Yesus sendiri mengatakan ketidaktahuan-Nya (Mrk.13:32), malaikat-malaikat di Sorga tidak, dan Anakpun tidak (Mt 24:36; Mk 13:32; Why 3:3), kedatangan-Nya adalah seperti pencuri (1 Tes 5:2; 2 Pet 3:10). Begitu pula ketika menjelang kenaikan Yesus, para rasul bertanya kepada-Nya, ”Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel ?” Maka jawabannya cukup jelas, ”Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya”(Kis 1:6-7). Justru karena itu Yesus berulangkali harus menasehatkan orang supaya selalu berjaga-jaga karena tak seorangpun tahu kapan waktunya akan tiba. (Mrk 13:33). Kita tidak perlu tahu kedatangan-Nya (Kis 1:7), yang terpenting adalah berjaga-jaga, siap sedia, dan dengan sabar menantikan kedatangan-Nya (lih. Mt 24:44; Mt 25:13; Mk 13:35-37; Lk 12:37-40, 46; 1 Tes 5:6; Why 3:3, 16:15; Yak 5:7).

Suatu kali ketika St. Fransiskus Assisi sedang mencabut alang-alang di kebunnya, seseorang bertanya kepadanya “Apa yang akan kamu lakukan kalau besok kiamat?” Dengan cepat St. Fransiskus Assisi menjawab demikian “Aku akan menyelesaikan mencabut alang-alang ini dari kebunku.” Fokus kita bukan pada mencari tahu waktu kedatangan-Nya, namun lebih pada bagaimana kita mempersiapkan diri kita sebaik mungkin, bersiap-siaplah dan berjaga-jagalah. Tetap berkarya di tengah-tengah dunia ini, sambil tetap mengarahkan hati kita pada Tuhan. Dengan sikap dasariah seorang yang siap sedia dan berjaga-jaga, maka kita tidak perlu tahu kapan saat kedatangan Tuhan, sebab apa gunanya tahu, bukankah bila kita tahu dapat dikatakan seperti hamba yang berjaga-jaga seperlunya saja, sebagai hamba yang penuh perhitungan. (SJ)

Pada hari perayaan wajib Santa Perawan Maria dipersembahkan kepada Allah

21 November 2009



[1] Katekismus Gereja Katolik (KGK) 670

[2] KGK 673

[3] KGK 675

[4] KGK 681

[5] Inilah INJIL YESUS KRISTUS; Dr. Martin Harun, OFM; Kanisius; hal. 243-244.

[6] 101 Tanya-jawab Tentang Kematian Dan Kehidupan Kekal; Kanisius; hal. 175-179

[7] KGK 1040

[8] KGK 1038

[9] KGK 1040

[10] KGK 1041

[11] KGK 1024

[12] KGK 1043

[13] KGK 1046

[14] KGK 1047

[15] KGK 1048

[16] KGK 1044

[17] KGK 1049

[18] Iman Katolik: buku informasi dan referensi; Konferensi Waligereja Indonesia; Kanisius, hal. 297

[19] Suplemen Summa Theologiae,q.77,a.2 seperti yang dikutip di buku 101 Tanya-jawab Tentang Kematian Dan Kehidupan Kekal; Kanisius; hal. 187.

Steven Jundika