Jumat, 09 Juli 2010

SCHOLA CANTORUM SURABAIAENSIS


Pernahkan pembaca mendengar: 'SCS'?
SCS adalah singkatan dari Schola Cantorum Surabaiensis, yaitu Kelompok Studi dan Koor Gregorian milik Keuskupan Surabaya, yang pada hari Minggu, 30 Mei 2010 yang lalu, telah genap berumur dua tahun. Tidak kurang dari Uskup Surabaya, Y.M. Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono ikut memberikan restu dan berkatnya pada saat berdirinya SCS pada 30 Mei 2008.

Didirikannya kelompok studi dan koor Gregorian di Keuskupan Surabaya merupakan jawaban atas harapan Paus Benediktus XVI, “Akhirnya, dengan tetap menghargai aneka gaya dan beragam tradisi yang sangat berharga, saya mendambakan, sesuai dengan permintaan yang diajukan oleh para Bapa Sinode, agar nyanyian Gregorian benar-benar dihargai dan digunakan sebagai nyanyian yang sesuai untuk liturgi Romawi.” (Sacramentum Caritatis 42) Sebagaimana tersebut dalam SC. 42 di atas, menyanyikan kembali lagu Gregorian dalam liturgi adalah berdasarkan permintaan dari para Bapa Sinode. Hal ini tentunya tidak terlepas dari latar belakang, bahwa lagu Gregorian adalah merupakan suatu tradisi yang sangat berharga milik Gereja Katolik, yang telah menjadi nyanyian liturgi sejak abad 6.

SEKILAS MENGENAI LAGU GREGORIAN
Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap lagu-lagu / nyanyian-nyanyian liturgi yang lain. Patut disayangkan bila umat Katolik tidak mengenal lagu dan nyanyian Gregorian ini.
Dan terlebih lagi, bila umat Katolik kurang (tidak) menghargainya. Karena lagu Gregorian ini 'sangat pas' dengan suasana dan irama liturgi Gereja Katolik (Misa). Memperhatikan nilai dan makna nyanyian / lagu Gregorian, maka alasan-alasan seperti: 'kuno', 'kolot', ataupun 'tidak mengerti artinya', kiranya sungguh dapat dikesampingkan dan diabaikan. Pepatah Jawa mengatakan ' witing tresna jalaran saka kulina ' ternyata dibuktikan
banyak umat yang menyampaikan kesan, bahwa Lagu-lagu Gregorian yang dinyanyikan dalam Misa ternyata bisa menghantar suasana Misa menjadi lebih khusyuk dan khidmat.

KEANGGOTAAN SCS
Saat ini, fratres SCS (sebutan anggauta SCS yang berarti “saudara”) yang aktif berjumlah 20 (duapuluh) orang sedang yang pernah bermitra dengan SCS berjumlah 43 orang , mereka berasal dari berbagai Paroki di Keuskupan Surabaya.
Huuueebatnya, 11 (sebelas) di antaranya yang masih aktif hingga saat ini berasal dari Paroki Salib Bahkan keempat-empat organisnyapun juga dari Salib Suci. Usia para fratres pun bervariasi, mulai 19 tahun sampai 68 tahun (dan tetap bersemangat!)
Uniknya, banyak di antara fratres itu, yang sebelumnya sama sekali 'tidak bisa' membaca not dan menyanyikan lagu Gregorian, alias 'mulai dari nol, namun seiring berjalannya waktu, dengan komitmen, ketekunan dan kesabaran dalam berlatih, para fratres itupun ternyata menjadi 'mampu' menyanyikan lagu – lagu Gregorian (umat Salib Suci sudah dikenalkan sebagian nyanyian seperti pada buku Bernyanyilah Bagi Allah). Berikut ini kita simak kesan mantan organis kita mengenai SCS :
“SCS membuat saya belajar lebih banyak tentang music klasik Gereja Katolik, khususnya lagu-lag Gregorian. Sebenarnya, waktu kecil Gregorian adalah lagu yang paling saya benci, tetapi ternyata lagu itu keren banget untuk selalu dinyanyikan sepanjang masa! Salut untuk pencetus, pendukung, dan semua umat yang telah berpartisipasi dalam SCS. Semoga SCS selalu siap berkarya di ladang Tuhan dengan segenap talenta dan kesempatan yang telah diberikanNya. Terakhir, terima kasih karena pernah diberi kesempatan mengiringi dan selalu diberi tempat didalamnya setiap saat”. (Enggar)

KIPRAH SCS
Dalam waktu dua tahun sejak dibentuknya, SCS sudah melayani lebih dari 30 Misa dan 100 Ibadat Penutup (completorium), mulai dari Hari Minggu Adven I sampai dengan Hari Raya Kristus Raja. SCS juga melayani Misa dalam Bahasa Latin-Indonesia, yang sudah beberapa kali diselenggarakan di Katedral (jadwal rutin menyanyikan Misa Latin pada minggu ke IV setiap bulan). Disamping itu, SCS juga menyanyi di Misa Perkawinan , Misa Arwah, dan Misa yang diselenggarakan ISKA. Selain di Katedral, SCS juga memenuhi undangan untuk menyanyi ataupun memberikan pelatihan Gregorian di berbagai paroki, dari Kristus Raja, Salib Suci, Gembala Yang Baik, Santo Yakobus dan Sakramen Mahakudus, sampai ke Santa Maria Annuntiata di Sidoarjo.

ANDA TERTARIk? SILAHKAN BERGABUNG . . . . !
Dilatar-belakangi minat dan semangat untuk menjaga dan memelihara tradisi dalam Gereja Katolik yang kaya makna, SCS mengajak siapa saja yang mempunyai komitmen bernyanyi untuk bergabung.
Selain berlatih, ikut berpartisipasi dalam Misa, di sini kita juga belajar dan mengenal mengenai 'kekayaan' Gereja Katolik yang penuh makna.

Untuk keterangan lebih lanjut tentang SCS, pembaca dapat menghubungi Bapak Stefanus Tri Budi di 0811-307-303.

Selasa, 06 Juli 2010

Biarlah anak-anak datang padaKu,...(dengan tertib)

1. PENGANTAR
Dalam suatu kesempatan, setelah misa, terjadi dialog di antara beberapa orang berkaitan dengan situasi misa yang baru mereka ikuti.
Rupanya. tema panas yang sedang mereka perbincangkan adalah mengenai sikap Romo yang terkesan reaktif, saat mendengar suara ramai anak-anak pada saat ibadat sedang berlangsung.
Bahkan, pada saat itu, Romo langsung mengangkat muka dan mengarahkan pandangannya ke arah asal sara itu (dan tentunya, misa sejenak terhenti).
Inilah pokok masalahnya.
Rupanya para peserta dialog tidak resmi itu sepakat, bahwa Romo terlalu kaku. Bahkan sepakat pula dalam memberikan kesan dan penilaian bahwa Romo tidak suka kepada anak-anak.
Celoteh lebih jauh lagi (mdah-mudahan maksudnya bergurau), bahwa: Romo bersikap seperti itu, tidak suka kepada anak-anak karena Romo tidak pernah merasakan punya anak, tidak pernah merasakan menjadi orang tua. Lebih hebat lagi, bahkan mereka mengutip ayat Kitab Suci. Katanya: “Bukankah dalam Kitab Suci tertulis, bahwa Yesus memarahi orang yang menghalangi anak-anak yang datang kepada-Nya?”
Dalam kesempatan ini, mari kita mencermati dengan sedikit sabar dan cermat, apa yang sebenarnya terjadi.

2. CIRI dan SUASANA MISA
Tentu perlu kita menyamakan pemikiran terlebih dahulu, bahwa ‘MISA’ adalah satu bentuk ibadat.
Dan misa, dalam tata liturginya,harus mengikuti tata aturan yang telah ditetapkan (antara lain: Tata Perayaan Ekaristi, Pedoman Umum Misa Romawi, Sacrosanctum Concilium, dan lain sebagainya).
Semua itu bertujuan demi terciptanya suasana misa yang sakral namun partisipatif, meriah namun tertib, khusyuk dan tentunya, dengan segala tata-gerak dan sikap hati yang pantas penuh penghayatan.
Ciri dan suasana ini tetap hars ada pada setiap misa, baik misa dengan intensi gembira (misalnya: ulang tahun) ataupn dengan intensi sedih (kematian, dll.).

3. REFLEKSI SITUASI DALAM KITAB SUCI
“Bukankah Kitab Suci tertulis, bahwa Yesus memarahi orang yang menghalangi anak-anak yang datang kepada-Nya?”
Demikianlah penggalan dialog di atas.
Tentu yang dimaksud oleh umat tersebut adalah Mrk.10:14:
Ketika Yesus melihat hal itu, Ia marah, dan berkata kepada mereka: “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, dan jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah” atau Luk. 18:16:
Tetapi Yesus memanggil mereka dan berkata: “Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, dan jangan kamu menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.
Atas ayat-ayat itu, baiklah kita sejenak mundur, melihat situasi dan latar-belakang (alasan) Yesus mengeluar-kan kata-kata itu.
Latar belakang siatuasi yang ada pada saat itu adalah: Yesus selesai bertanya-jawab dengan orang Farisi, dan sudah sampai di rumah, saat di rumah itulah, para murid dan Yesus membahas kembali tema pembicaraan yang terjadi dengan orang Farisi tadi. Ketika itulah, ada orang yang mebawa anaknya kepada Yesus, dengan tujuan agar Yesus menjamah anak itu.
Penting kita perhatikan, bahwa suasana / situasi pada waktu itu bukan saat ibadah. Situasi itu terjadi di luar saat ibadah.
Memang ada suatu yang menarik dalam ayat itu bila kita melihat aspek budaya / kebiasaan orang Yahudi.
Dalam tata cara / sopan santun orang Yahudi, pada saat orang-orang dewasa (yang bukan keluarga) sedang berbicara, anak-anak tidaklah terlibat dalam pembicaraan itu.
Dalam konteks ini, seolah Yesus ingin menyampaikan dan mengingatkan kita bahwa anak-anakpun merupakan bagian dari Kerajaan Allah. Terlebih lagi bila kita melihat apa yang ada pada anak-anak kecil, tidak lain adalah: polos, jujur, membutuhkan bimbingan dan perlindungan, jauh dari sikap sombong dan menyombongkan diri.

4. REFLEKSI SITUASI KONTEKSTUAL
Kembali kita menengok pembicaraan / dialog antar-umat di atas. Situasi yang mereka bahas adalah situasi ‘pada saat misa beerlangsung’.
Ini adalah latar belakang yang berbeda dengan siatuasi atau latar belakang suasana yang ada pada ayat yang dikutip.
Misa adalah suatu ibadah.
Suasana dalam misa, tentunya adalah suasana ibadah.
Dan Misa, mempunyai dan harus berlangsung dalam ciri dan suasana yang khas sebagaimana tertulis di atas.
Maka, kata-kata / kalimat: “Bukankah dalam Kitab Suci tertulis, bahwa Yesus memarahi orang yang menghalangi anak-anak yang datang kepada-Nya?”, tidaklah tepat untuk dipakai dalam konteks pembicaraan / dialog di atas.
Di sini rupanya terjadi pengutipan yang ‘tidak pas’, karena situasi dan kondisi pada saat Yesus berbicara tidak sama/tidak identik dengan situasi dan kondisi pada saat Misa.

5. BAGAIMANA SEHARUSNYA . . . . . ?
‘Membawa anak-anak kepada Yesus’ adalah suatu tindakan dan kebiasaan yang baik, bahkan kita merasa’ wajib’.
Ada banyak cara utnuk membawa anak-anak kepada Yesus. Bisa dengan pengajaran agama, bisa dengan membiasakan berdoa, atau dengan membiasakan membawa mereka ke gereja, mengikuti Perayaan Ekaristi / Misa.
Namun, masing-masing cara itu tentu perlu dilakukan dengan menyesuaikan kondisi.
Nah, inilah yang sebenarnya menjadi sorotan yang perlu dicermati.
Membawa serta anak-anak untuk mengikuti Perayaan Ekaristi / Misa, tentunya orangtua harus menyesuaikan dengan suasana Misa yang seharusnya dibentuk.
Di sinilah para orangtua, sebagai umat, wajib untuk ikut menjaga, agar suasana dalam Misa tidak terganggu oleh ulah / celoteh anak (-anak)nya.
Bentuk gangguan itu bisa berupa tindakan ataupun suara. Dan dampak gangguan bisa terhadap terpecahnya konsentrasi Romo, atau sesama umat yang sedang khusyuk mengikuti misa.
Dalam hal ini, para orangtua seharusnya mencoba memaknai kata-kata: Membawa kepada Yesus.

Mengikut-sertakan anak dalam Misa, memang sekilas bisa diartikan: Membawa kepada Yesus.
Namun ada yang lebih esensi dari sekedar: pokoknya ikut Misa di dalam gereja, berarti datang kepada Yesus.
Kita tentu mengerti (seharusnya mengerti...?) bahwa untuk mengikuti Misa, kita perlu persiapan, baik persiapan panjang (mulai dari hari-hari sebelumnya) maupun persiapan pendek (beberapa saat setelah kita berada di dalam Gereja).
Perlunya persiapan itu tentunya agar kita ‘layak’ mengikuti Perayaan Misa Kudus itu, baik secara fisik-ragawi, maupun secara jiwa-spiritual.
Dan itu semua diperlukan agar kita benar-benar dapat mengikuti dengan baik dan penuh penghayatan setiap tahapan dari Misa itu. Untuk itulah perlu suasana yang tertib.
Menjaga suasana tertib itu menjadi kewajiban semua umat yang ikut merayakan Misa.
Dengan ketertiban, Misa dapat terlaksana dengan semestinya, baik dari sisi Imam maupun umat.
Dalam konteks yang kita bahas, bila dalam / selama berlangsungnya Misa, banyak terjadi tangisan / jerutan / teriakan anak-anak, maka tentu suasa tertib sudah tidak ada lagi. Dalam hal yang demikian, bukan hanya Imam yang bisa terganggu. Umat yang lainpun terganggu, hilang konsentrasinya, merasa tidak nyaman, dan akhirnya tidak bisa mengikuti Misa dengan baik. Inilah yang harus kita hindari.
Karenanya setiap umat wajib menjaga ketertiban, bukan malah menciptakan ketidak-tertiban (baik karena diri sendiri maupun karena anak-anaknya) yang bisa menciderai kesakralan Misa.
‘Membawa anak-anak kepada Yesus’ dalam konteks Misa, selain berarti membiasakan anak-anak untuk merayakan Ekaristi, juga harus berarti membiasakan / mengajarkan kepada anak-anak untuk menghayati dan mengikuti Misa dengan tertib.
Bagaimana dengan anak-anak yang belum memahami arti ‘tertib’, ‘tenang’ (anak-anak usia di bawah 3 tahun, misalnya)?
Nah, di gereja Salib Suci ada Balai Paroki, Lantai 1 dan Lantai 2 yang bisa dipakai, sedemikian sehingga Perayaan Ekaristi bisa berlangsung dengan baik.

6. PENUTUP
“Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, . . . . “
Kata-kata Yesus itu sesungguhnya merupakan tantangan bagi kita, bagaimana kita bisa dan mau mendidik anak-anak, antara lain untuk mengikuti Ekaristi dengan layak.
Kata-kata Yesus itu bukanlah dalih yang bisa kita pakai kertika anak-anak kita membuat kegaduhan yang menciderai suasana Misa.
Perlu kita menyadari, bahwa umat yang lain, perlu juga ‘datang kepada Yesus’. Mereka perlu suasana yang baik agar bisa menghayati Misa dengan baik dan layak.
Mereka berhak untuk tidak terganggu, termasuk gangguan yang ditimbulkan oleh suara dan tingkah anak-anak.
Semoga kita bisa berbenah bersama.(SSA)

Sejenak mohon perhatian