Selasa, 21 Juli 2009

Simak Iklan ini sebaik-baiknya



Telah Terbit "MAWASS" Edisi ke 2

Segera !!! dapatkan,... bagi masih belum/kesulitan mendapatkannya silahkan menghubungi KOMSOS Paroki Salib Suci, di hotline 0812 178 8701

CINTA dan KESETIAAN

Berbicara tentang cinta, orang tidak bisa menutup diri untuk berbicara tentang kesetiaan. Bak kaus kaki, mereka mesti selalu bersama-sama pada hidup manusia, sebagaimana tidak ada orang waras atau normal tidak cuma memakai satu kaus kaki lalu membiarkan kaki satunya kosong. Demikianlah halnya cinta dan setia pada hidup manusia. Jika yang satunya ada atau diperhatikan dan digunakan, sedangkan yang lainnya tidak ada, maka pastinya hal itu rasanya dan kelihatannya, cepat atau lambat pincang, aneh, atau sedang bersandiwara, berpura-pura, ketoprak humor, atau main film sinetron. Sebagaimana kaus kaki yang satu melengkapi yang lainnya dan sebaliknya, demikian cinta melandasi kesetiaan dan kesetiaan menjadi tolok ukur cinta.
Alkisah, di Perancis pada akhir abad 11, hiduplah 2 orang bernama Albelard dan Heloise. Albelard adalah seorang sarjana dan guru. Sedangkan Heloise adalah muridnya. Mereka berdua terlibat relasi khusus yang namanya cinta. Cinta mereka ini disertai kesetiaan yang kuat dan besar. Memang sudah tentu, orang yang saling mencintai harus menunjukkan kesetiannya. Adalah penipu kalau seseorang suka mengobral kata-kata cinta, tetapi tidak mempunyai kesetiaan. Sebab cinta dan kesetiaan itu tak dapat dipisah-pisahkan. Namun demikian relasi mereka ini tidak disetujui oleh paman Heloise. Pamannya adalah seseorang yang sangat berpen garuh di kota Paris, karena kedudukannya sebagai Kepala Katedral Notre Dame. Tetapi sungguhpun demikian cinta mereka tidak menjadi padam. Mereka sudah tidak bisa berpisah. Masing-masing sudah tidak dapat menahan rindu, sehingga merekapun menikah secara rahasia.
Mendengar hal itu paman Heloise menyewa satu geng pembunuh agar menyerang dan menganiaya Albelard. Tetapi rupanya Albelard mencium rencana itu. Maka ia pun berpikir, bahwa dirinya tidak cocok kalau tetap menjadi suami Heloise. Lalu ia masuk biara St. Denis dan menjadi biarawan. Demikian juga Heloise mencari suatu kehidupan agama, lalu menjadi biarawati. Dari sana mereka menulis surat-surat yang indah kepada tiap-tiap orang tentang pandangan hidup mereka. Pandangan mereka banyak tentang cinta dan kesetiaan. Mereka berdua akhirnya meninggal dan dikuburkan bersama-sama di Paris.
Kisah ini mengesankan sekali sehingga cinta dan kesetiaan mereka dapat dicontoh oleh pemuda pemudi yang berpacaran. Di jaman ini, tampaknya kata cinta lebih cenderung dihubungkan dengan uang. Maka sering kita dengar “ Ada uang – ada cinta.” Indikasinya jelas. Nyatanya akhir-akhir ini banyak isteri kabur setelah suaminya bangkrut. Pacar diambil orang karena tidak ada uang lagi. Seolah-olah cinta itu sekarang dapat dengan mudah dibeli dengan uang. Sehingga hal berganti-ganti pasangan ataupun rebutan pacar sudah merupakan sesuatu yang biasa. Tetapi cinta yang sejati sampai sekarang ini dapat diukur dari kesetiaan. Tanpa kesetiaan, kata-kata cinta itu tidak ada artinya. Albelard dan Heloise tadi tetap menjadi lambang cinta dan kesetiaan.
Dalam segala hal, sesungguhnya kalau tidak disertai cinta dan kesetiaan, menjadi semu. Itu sama halnya dengan sandiwara. Setiap sandiwara merupakan permainan yang dibuat-buat dan bersifat pura-pura. Dua insan yang tampaknya sangat mencintai dan penuh setia, dalam sandiwara itu hanyalah suatu permainan . Hati masing-masing pemain biasanya tidak ada rasa cinta, apalagi kesetiaan. Setelah bermain sandiwara, masing-masing akan bergandengan atau duduk mesra dengan kekasih mereka yang sebenarnya.
Nah rekan-rekan remaja dan saudara-saudara sekalian, dari kenyataan itu kiranya anda dapat berhati-hati dalam mencari teman hidup. Jangan asal orang mengatakan cinta, ia pasti setia kepada anda. Belum tentu ..... Untuk mengetahui kesetiaan seseorang atas cintanya perlu diuji dulu. Mungkin kita masing-masing-pun masih perlu nguji diri, apakah benar, kita mencintai Tuhan dengan penuh setia? Sebagaimana seorang pemuda yang mengaku cinta kepada seorang gadis, tentu ia tidak cukup dengan memujanya terus menerus, tetapi yang lebih penting adalah kesetiaannya. Demikianlah juga kalau seseorang mengaku mencintai Tuhan, maka ia-pun tidak cukup hanya memujanya setiap hari ( hari Selasa – Jum'at – Minggu ) tetapi kesetiaan kita kepada-Nya, lebih penting dari segala-galanya.
Tuhan hanya menekankan tiga hal bagi orang-orang yang mengasihi-Nya yaitu “ Keadilan, belas kasihan dan kesetiaan.”
( Mat 23 : 23 )

(
Romo Yosep )


Paroki Salib Suci live in Puhsarang Kediri


Yang telah terselenggara pada Minggu 12 Juli 2009 dan dimeriahkan oleh Kolaborasi Paduan Suara antar Wilayah, Crux Salve, SUPRABA, Regina Caeli, Sacro Sanctae,....didukung juga oleh kelompok Misdinar St. Tarsisius...serta seluruh pengurus Dewan Pastoral untuk pelaksanaan Tata tertib

Selasa, 14 Juli 2009

Kirim artikel Anda

ke : degelima@gmail.com, fransiskaestuning@gmail.com, atau mawass@parokisalibsuci.org

Hati yang mendua

Berawal dari suatu pagi, sebuah peristiwa kecil yang memancing hati harus bertanya dan bertanya. Langkahnya berjalan gesit dan tangannya menghimpit Kitab Suci, dia seorang Katolik, senyumnya ramah ketika ditanya : “Mau kemana Pak?” Jawabnya dengan tegas : ”Mau doa pagi!” Keheranan semakin menjadi, doa pagi saja harus berkumpul di suatu tempat, bukan rumah sembayang, bukan gereja, tapi rumah sebuah keluarga. Pengikutnya bukan hanya orang Katolik saja, namun bersama dengan orang-orang yang non Katolik. Mereka berkumpul berdoa, bernyanyi bersama, membaca Kitab Suci, sehingga bisa memberikan suatu kelegahan dalam hati mereka.
Dengan kelegahan itu yang satu bisa membawa orang lain. Bukankah doa pagi bisa dilakukan di rumah? Dan baik sekali bila dilakukan bersama sama dengan keluarga sendiri. Namun, mereka telah terjebak dalam “Hati yang mendua” Seharusnya mereka sadar, bahwa mereka telah terlahir kembali dengan permandian Katolik, namun mengapa mau melewati koridor yang bukan Katolik. Mereka sudah tidak ingat lagi ketika menjadi katekumen, yang diajarkan bukan saja upaya menerangkan ajaran dan perintah perintah ilahi, melainkan juga dihantar dan dilatih cara hidup kristiani, yang menghubungkan murid dengan Sang Gurunya.

Secara bertahap iman mereka diterangkan dan melalui upacara upacara, para katekumen dihantar menuju hidup kristiani, sampai diterima umat dengan sakramen inisiasi yaitu :
Pembaptisan, penguatan dan Ekaristi. Akhirnya mereka hidup dalam dua dunia kristiani yang berbeda. Mereka lupa akan syahadat yang pernah diucapkannya : . . . . . aku percaya akan Roh Kudus, gereja Katolik yang kudus, persekutuan para kudus . . . . . . . . .dstnya.
Orang terkadang berkata, untuk menjadi seorang Katolik saja begitu sulit!
Benarkah ?
Untuk dipermandikan secara Katolik harus mengikuti pelajaran (menjadi katekumen) selama kurang lebih satu tahun. Memang, ini diberikan kepada orang orang yang akan dipermandikan secara Katolik, agar mereka betul-betul tahu tata cara hidup sebagai orang Katolik. Mempunyai iman Katolik yang kuat dan dewasa. Melalui proses inisiasi yang meliputi pembinaan bertahap manusia seluruhnya, supaya menjadi orang yang mengenal iman Kristiani (pembinaan doktrinal), menghayatinya (pembinaan rohani), hidup dalam dan bersama dengan umat (pembinaan liturgis) dan bersedia menjalankan pengutusan (pembinaan apostolis). Namun agaknya sekarang sudah menjadi model yang bisa menjadikan orang Katolik secara instan, tanpa melalui katekumen, asal ada kemauan untuk dibaptis, langsung bisa menerima sakramen baptis, yang juga diberikan oleh seorang imam tertabis. Ini sangat luar biasa, dan berdasarkan sabda Yesus yang mengatakan: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus (Mat.28 :19), maka
dibaptiskanlah orang melalui perantara yang sudah dekat dan “berlangganan” kepada imam tersebut. Suatu pertanyaanpun timbul kembali.

Siapakah yang bersalah dalam hal ini, imamnya ? orang orang yang dibaptis? Ataukah perantaranya? Yang jelas praktik seperti ini akan membuahkan para baptisan memilik pedoman iman Katolik yang kurang kuat, akhirnya mudah terjebak untuk tidak berjalan pada koridor Katolik, dan mudah memiliki “Hati yang mendua”. Hal seperti ini pasti terjadi pada beberapa wilayah di paroki, dan yang pasti ini akan menjadi hal yang sangat mengecewakan para Ketua wilayah dan Ketua Lingkungan ataupun Ketua kelompok bila ada, dan mau tidak mau harus memikirkan bagaimana menanggapi hal hal seperti ini.
Untuk itu, “EROSI IMAN” pada majalah MAWASS edisi pertama hendaknya betul betul perlu diperhatikan. Bukan banyaknya namun terutama mutunya. (Non multa sed multum). oleh Yos/red