Minggu, 10 Oktober 2010

Sejarah Doa Rosario

Rata Tengah
I. PENGANTAR

Bulan Oktober adalah bulan yang penuh gairah dalam hidup menggereja. Antusiasme umat berdoa Rosario secara bergiliran dari rumah ke rumah di setiap wilayah atau lingkungan selalu dipadati umat. Devosi yang sehat ini rupanya telah mengakar kuat pada umat. Tak diragukan lagi bahwa ungkapan devosi kepada Bunda Maria yang paling populer dan dicintai dalam Gereja adalah Doa Rosario. Dari generasi ke generasi, Doa Rosario juga telah menjadi ungkapan devosi (hampir) semua paus dan tokoh-tokoh suci Gereja, antara lain: St. Thomas Aquinas, St. Alfonsus Liguori, St. Louis Maria de Monfort, Ibu Teresa Calcuta, dan masih banyak lagi. Namun, tentunya semarak devosi ini perlu mendapatkan penjernihan yang sepatutnya, agar umat tidak terjebak ke dalam spiritualitas yang kerdil, emosional dan dangkal.
Untuk itu, tulisan ini hendak menyajikan tentang Sejarah Doa Rosario. Sebagai pengantar, kami mencoba menulis ulang apa yang pernah dimuat di majalah ini tentang sejarah dari Rosario dari sisi yang sedikit berbeda. Kisah Lepanto yang melegenda kami sajikan, bukan pertama-tama untuk mengusik luka lama dalam hubungan dengan saudara-saudara Muslim, melainkan melihat kenyataan sejarah itu sebagai penekanan akan pertolongan Bunda Maria bagi kita (Maria Auxilium Christianorum). Dan tentunya hal ini sangat mengena bagi sebagian umat yang sangat mengharap pertolongan Sang Bunda, terutama di bulan Rosario ini.Semoga tulisan ini semakin membawa kita semakin mencintai Yesus melalui Maria.

II. SEKILAS SEJARAH PERKEMBANGAN 'DOA ROSARIO'

1. TERBENTUKNYA DOA ROSARIO

Penggunaan “manik-manik” untuk mendaras doa yang diulang-ulang sebagai media meditasi telah dikenal bahkan sebelum masa kekristenan. Di dalam Gereja sendiri hal yang demikian telah dikenal sejak masa-masa awal Gereja. Cara berdoa dengan menggunakan untaian biji-bijian atau simpul-simpul pada tali digunakan untuk membantu orang yang kurang terpelajar di dalam menghitung jumlah Doa Bapa Kami atau Salam Maria yang didaraskan sebagai pengganti 150 Mazmur. Sehingga untaian manik-manik ini kemudian dikenal dengan sebutan “Paternoster,” atau juga dikenal sebagai “brevir (doa mazmur) orang-orang sederhana”
Doa ini berkembang selama beberapa abad. Perkembangan yang cukup pesat terjadi di sekitar abad 12-15. Hingga akhirnya doa 50 kali Salam Maria (atau lebih) didaraskan dan dihubungkan dengan ayat-ayat Mazmur atau ayat-ayat lain untuk mengenangkan “sukacita Maria” dalam hidup Yesus dan Maria.

Menurut tradisi, St. Dominikus Guzman, pendiri tarekat Dominikan (wafat tahun1221) adalah yang mempopulerkan doa ini dan merangkaikan 50 ayat mengenai hidup Yesus dan Maria dengan 50 kali doa Salam Maria. Karenanya bentuk doa ini dikenal sebagai rosarium (“kebun mawar”), yang arti umumnya berarti “bunga rampai” (suatu kumpulan bahan yang serupa). Doa Salam Maria yang diulang-ulang itu adalah bagaikan bunga mawar yang dirangkaikan kepada Bunda Maria. Pada masa ini pula nuansa biblis doa Rosario semakin berkembang dengan ditambahkannya rangkaian peristiwa “dukacita Maria” dan “sukacita surgawi”, sehingga jumlah doaSalam Maria menjadi 150 kali.

• Dikisahkan, bahwa St. Diminikus yang tergerak oleh penampakan Bunda Maria, mewartakan penggunaan Rosario untuk mempertobatkan bidaah Albigenisme (kata Albigensis berasal dari nama kota 'Albi' di Perancis Selatan). Bidaah ini percaya bahwa semua yang jasmaniah adalah jahat dan yang rohaniah adalah baik. Karenanya, inkarnasi Allah Putera tidaklah masuk akal. (Bidaah ini sangat mungkin terengaruh oleh aliran Platonisme, yang mengajarkan bahwa: jiwa terbelenggu dalam tubuh yang jahat). Dan tindakan religius mereka yang paling “luhur” disebut “endura”, bunuh diri untuk membebaskan jiwa dari raga. Mereka juga menentang otoritas manapun yang mewakili suatu kerajaan dunia ini, sebab itu mereka membantai para pejabat kerajaan dan para pejabat Gereja.

Perkembangan selanjutnya, di awal abad ke-15, Henry Kalkar (1408), seorang biarawan Carthusian, mengelompokkan ke-150 kali doa Salam Maria ke dalam beberapa kelompok yang berisi 10 kali doa Salam Maria dengan diawali dengan doa Bapa Kami. Dan hingga pada abad ke-16, struktur lima kelompok misteri dalam doa Rosario telah didasarkan pada tiga rangkaian peristiwa biblis yang sangat erat berkait dengan Bunda Maria dan Yesus, yaitu: Peristiwa Gembira, Peristiwa Sedih dan Peristiwa Mulia.
Dan setelah penampakan Bunda Maria di Fatima (1917), doa yang diajarkan Bunda Maria kepada anak-anak ditambahkan pada akhir setiap misteri, “Ya Yesus yang baik, ampunilah dosa-dosa kami, selamatkanlah kami dari api neraka. Hantarlah jiwa-jiwa ke surga, teristimewa jiwa-jiwa yang amat membutuhkan kerahiman-Mu.”

Dewasa ini, doa Rosario dijunjung tinggi dan dianjurkan sebagai suatu sarana yang efektif bagi pertumbuhan rohani. Banyak orang kudus mendorong pendarasan doa Rosario, termasuk St. Petrus Kanisius, St. Filipus Neri dan St. Louis de Montfort. Paus Leo XIII, yang kerap disebut “Paus Rosario”, menegaskan bahwa doa Rosario sebagai suatu senjata rohani yang ampuh melawan kejahatan (Supremi Apostolatus Officio, 1884).
Paus Pius XI pada tahun 1938 memberikan indulgensi penuh kepada siapa saja yang mendaraskan Rosario di depan Sakramen Mahakudus.

Paus Yohanes XXIII dan Paus Paulus VI juga dikenal sebagai penganjur doa Rosario yang gigih. Buku Pedoman Indulgensi (1969), yang disetujui Paus Paulus VI, memberikan indulgensi penuh “jika Rosario didaraskan di sebuah gereja atau suatu tempat doa umum, atau dalam suatu kelompok keluarga, suatu komunitas religius atau perkumpulan saleh….” (No. 48).
Yang paling akhir, menandai diawalinya 25 tahun masa pontifikatnya, Paus Yohanes Paulus II menerbitkan Surat Apostolik Rosarium Virginis Mariae, di mana beliau menetapkan Peristiwa Cahaya dan mendorong umat beriman agar menggunakan Rosario untuk “bersama Maria, merenungkan wajah Kristus.”

2. ROSARIO DALAM PERANG LEPANTO: MARIA AUXILIUM CHRISTIANORUM

Alkisah, di tengah semakin populernya doa Rosario, di era Paus Pius V, kaum Muslim Turki menyerang Eropa Timur. Tahun 1453 Konstantinopel jatuh ke tangan mereka. Selanjutnya di tahun 1521 Belgrade, Hungaria, juga ditaklukkan. Dan di tahun 1526, mereka telah berada di perbatasan Vienna, Austria sehingga penguasaan Kristen atas Mediterania berada di ujung tanduk. Pada bulan Februari 1570, Siprus jatuh.
Tahun 1571, Paus Pius V mengorganisir suatu armada di bawah komando Don Juan dari Austria, sanak Raja Philip II dari Spanyol. Bala tentara dari Spanyol, Venisia, Roma, Savoy, Genoa, Lucca, Tuscany, Manova, Parma, Urbino, dan Ferrara, dan Malta, membentuk suatu aliansi melawan Turki. Sementara persiapan dilakukan, Bapa Suci meminta segenap umat beriman untuk mendaraskan Rosario dan memohon bantuan doa Bunda Maria di bawah gelar “Bunda Kemenangan”. Kekuatan armada Muslim jauh melampaui armada Kristiani, baik dalam jumlah kapal perang maupun pasukan.

Pada hari Minggu, 7 Oktober 1571, Pertempuran di Lepanto dimulai, dan dalam tempo lima jam, kaum Muslim dikalahkan.
Siang itu, Paus Pius V yang tengah berada dalam suatu rapat, sekonyong-konyong berdiri, menuju jendela, menatap ke luar ke arah pertempuran yang bermil-mil jauhnya, ia berkata, “Marilah kita berhenti menyibukkan diri dengan masalah-masalah ini dan marilah kita mengucap syukur kepada Tuhan. Armada Kristen telah meraih kemenangan.”
Tahun berikutnya sebagai ucapan syukur, Paus Pius V menetapkan Pesta Rosario Suci pada tanggal 7 Oktober, di mana umat beriman tidak hanya mengenangkan kemenangan ini, melainkan juga terus menyampaikan syukur kepada Tuhan atas segala rahmat-Nya dan mengenangkan kuasa perantaraan Bunda Maria.

• Bapa Suci juga secara resmi menganugerah-kan gelar, “Auxilium Christianorum” (Pertolongan Orang-orang Kristen) pada Bunda Maria. Mejelis Tinggi Venesia juga mencantumkan pada sebilah papan dalam ruang pertemuan mereka, “Non virtus, non arma, non duces, sed Maria Rosari, victores nos fecit,” yang artinya, “Bukan kegagahan, bukan senjata, bukan pemimpin, melainkan Maria dari Rosario yang membuat kita menang.”
(FX. Sutjiharto)

Rabu, 06 Oktober 2010

Saat yang tepat & sangat dibutuhkan untuk ber-Devosi Kerahiman Ilahi


Pengantar dari redaksi:

Mawass edisi 6 antara lain memuat artikel tentang kegiatan PDKI di Paroki Salib Suci.
Selain itu, di rubrik 'Tanya-jawab' juga ada muatan tentang Doa / devosi 'Kerahiman Ilahi'.
Dari dua muatan itu, muncul beberapa tanggapan dari pembaca Mawass, berkaitan dengan hal-hal seputar PDKI dan Devosi Kerahiman Ilahi.
Melihat hal itu, berikut ini redaksi menampilkan artikel, yang lebih detail dan sistematis mengenai Devosi tersebut, dengan harapan para pembaca Mawass dapat memahami dengan lebih baik lagi salah satu kekayaan spiritual Gereja Katolik kita.
Mari kita simak . . .

APA dan BAGAIMANA:
DEVOSI KERAHIMAN ILLAHI

A. Pengertian Devosi
Apa itu Devosi ?
Istilah devosi berasal dari kata benda latin “Devotio“ yang berarti: kebaktian, pengorbanan, penyerahan, sumpah, kesalehan, cinta bakti; atau keta kerja Latin: “devovere” yang artinya: “mencurahkan perhatian sepenuhnya pada 'atau' memasrahkan diri kepada“ sesuatu atau pribadi tertentu.
Devosi Kerahiman Illahi ialah suatu kebaktian yang memberikan keyakinan kepada umat manusia bahwa Allah itu Maha-rahim dan Maha-pengampun, untuk percaya penuh kepada Allah serta untuk belajar menerima belas-kasih-Nya dengan ucapan syukur.
Bentuk devosi Kerahiman Illahi ini didasarkan pada catatan-catatan Santa Faustina Kowalska, seorang biarawati Polandia yang tak terpelajar, yang dalam ketaatan kepada pembimbing rohaninya, menuliskan sebuah Buku Catatan Harian (dikenal dengan singkatan: BCH) setebal kurang lebih 600 enamratus) halamanan. Dalam buku catatan itu ia mencatat tentang penampakan-penampakan yang dianugerahkan kepadanya mengenai Kerahiman Allah. Berdasarkan pengalaman spiritual St. Faustina itu, mulailah berkembang suatu kegiatan doa / devosi, yang dikenal dengan nama: DEVOSI KEPADA KERAHIMAN ILAHI, yang juga dikenal dengan nama: DOA KORONKA.
St. Faustina wafat pada tahun 1938, pada saat mana Devosi kepada Kerahiman Illahi telah mulai disebar-luaskan.

Pesan Utama Kerahiman Illahi
Pesan utama Kerahiman Illahi, mengingatkan kita bahwa Allah mengasihi kita semua, tak peduli betapapun beratnya dosa kita. Tuhan ingin kita tahu bahwa belas-kasih-Nya jauh lebih besar daripada segala dosa kita; Tuhan mengundang kita untuk datang kepada-Nya dengan penuh kepercayaan, menerima belas-kasih-Nya dan membiarkannya mengalir melalui kita kepada sesama. Dengan demikian segenap umat manusia akan ikut ambil bagian dalam sukacita-Nya.

Pesan ini dapat kita ingat dengan mudah melalui 'ABC' Kerahiman Illahi :

A: Ask For His Mercy: Mohon Belas Kasih Allah
Allah menghendaki kita bertobat yaitu: datang kepada-Nya dalam doa secara terus menerus, menyesali dosa-dosa kita dan mohon kepada-Nya untuk mencurahkan belas-kasihNya atas umat manusia di dunia, sebab Allah, melalui sengsara dan wafat Yesus, telah menyediakan bagi semua orang suatu samudera belas-kasih yang tak terhingga.
Kepada St. Faustina, Yesus sekali lagi menyatakan pesan yang sama. Yesus memberikan tiga cara baru untuk mohon belas-kasih-Nya dengan mengandalkan jasa-jasa sengsara-Nya, yaitu: Doa Koronka, Novena dan Jam Kerahiman Illahi. Yesus mengajarkan bagaimana mengubah hidup sehari-hari menjadi suatu doa yang tak kunjung henti memohon belas kasih Allah. Melalui Rasul Kerahiman Illahi-Nya (yaitu St. Faustina), Yesus memanggil kita semua untuk mohon belas-kasih-Nya.
“Jiwa-jiwa yang memohon belas-kasih-Ku menyenangkan hati-Ku. Kepada jiwa-jiwa ini aku menganugerahkan rahmat, bahkan seorang pendosa besar sekalipun, jika ia mohon belas-kasih-Ku “(BCH.1146)
“Mohonlah belas kasih bagi seluruh dunia“ (BCH. 570)
“Tak satu jiwapun yang mohon belas-kasih-Ku akan dikecewakan“ (BCH .1541)

B: Be Merciful: berbelas-kasih kepada sesama
Tuhan menghendaki kita menerima belas-kasihNya dan membiarkannya mengalir melalui kita kepada sesama. Tuhan menghendaki kita memperluas kasih serta pengampunan kepada sesama seperti Ia telah melakukan kepada kita. Belas-kasih adalah kasih yang berusaha meringankan penderitaan sesama. Belas-kasih adalah kasih yang hidup, yang dicurahkan atas sesama guna menyembuhkan, melegakan, menghibur, mengampuni, menghapus rasa sakit. Itulah kasih yang Tuhan tawarkan kepada kita dan itulah yang Ia kehendaki kita tawarkan kepada sesama.

C: Completely Trust: percaya penuh kepada-Nya.
Tuhan Allah ingin kita tahu bahwa rahmat-rahmat belas-kasih-Nya tergantung pada besarnya kepercayaan (iman) kita. Semakin kita percaya kepada-Nya semakin melimpah rahmat yang kita terima. Kepercayaan (iman) kepada Yesus merupakan intisari pesan kerahiman illahi.

'ABC' Kerahiman Illahi saling berhubungan satu sama lain, dan unsurnya yang utama adalah kepercayaan penuh kepada Yesus. Kita tidak sekedar mohon belas kasih Tuhan atau sekedar berbelas-kasih kepada sesama, melainkan kita mohon belas-kasih Tuhan dengan percaya penuh dan Tuhan memenuhi kita dengan rahmat-Nya agar kita dapat berbelas-kasih, sebab Bapa Surgawi kita penuh belas-kasih. Kata-kata Yesus kepada St. Faustina: “Aku adalah kasih dan Belas-kasih itu sendiri. Apabila jiwa datang kepada-Ku dengan penuh kepercayaan, Aku akan memenuhinya dengan rahmat yang begitu berlimpah hingga jiwa tak mampu menampungnya seorang diri, melainkan menyalurkannya kepada jiwa-jiwa lain juga “ ( 1074 )

B.Spiritualitas Kerahiman Illahi
Spiritualitas Kerahiman Illahi berbasis pada sifat Allah yang berbelas-kasih. Sedangkan belas-kasih bersumber dari kasih Allah sendiri. Berdevosi kepada belas-kasih Allah berarti bahwa devosan demikian tenggelam dalam pesona kasih Allah yang demikian murah hati. Biasanya seorang devosan menjadi ingin hidup dengan didayai oleh kasih Allah yang berbelas-kasih itu, sedemikian sehingga berharap orang lain yang dijumpainya juga dapat diantar masuk dalam kekayaan belas-kasih Allah. Dengan demikian setiap devosan selalu termotivasi dari dalam hatinnya untuk menghidupi nilai / keutamaan seperti: empati dan solidaritas, murah hati dan pemberi-diri tanpa batas, pengorbanan dan silih, pengampunan dan kepercayaan, kesetiaan dan kesabaran, optimisme dan harapan.

C.Bagaimana Mempraktekkan Devosi Kerahiman Illahi ?
Mempraktekkan Devosi Kerahiman Illahi dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
1. Menghormati Lukisan Kerahiman Illahi.
2. Mendaraskan Koronka Kerahiman Illahi
3. Merayakan Minggu Kerahiman Illahi
4. Novena Kerahiman Illahi
5. Mendoakan Jam Kerahiman Illahi


D.Apakah Koronka dapat didoakan dalam acara yang bernuansa / intensi / ujub 'syukur', misalnya: Midodareni, Ulang tahun, dan bentuk-bentuk syukur lain?
Devosi Kerahiman Illahi seperti yang dinyatakan Tuhan kita melalui St. Faustina, dianugerahkan kepada kita sebagai sarana belas-kasih, sebagai silih atas segala dosa yang dilakukan. Maka doa Koronka memiliki kekhasannya sebagai “silih“. Antara “Silih” dan “Syukur” tentunya ada perbedaan.

Untuk menjaga kekhasan tersebut maka Doa Koronka atau Kerahiman Illahi sangat tepat jika tidak didoakan dengan tema-tema syukur.
Sebagaimana misalnya Doa Novena Tiga Salam Maria, adalah doa yang bercirikan permohonan yang sangat mendesak kepada Bunda Maria, demikian pula Doa Kerahiman Ilahi, sebagaimana telah diuraikan di atas, juga mempunyai ciri khas, yaitu “silih”, memohon”kerahiman ilahi”.
Mungkin kita sering melihat (atau mengalami?) Doa Koronka / Doa Kerahiman Ilahi dilakukan dalam kesempatan doa yang bertema / ujub “syukur”. Memang hal ini tidak tepat. Melalui rubrik ini, semoga perlahan-lahan akan ada pembenahan, sehingga kita dapat menempatkan segala sesuatu dengan benar.

(Sofie Muji PDKI Salib Suci, Tropodo-Sidoarjo
untuk MAWASS Edisi 7)

Segera Terbit ! Segera Terbit ! Segera Terbit !

Mohon maaf, dikarenakan sesuatu hal, maka terbitan MAWASS
Edisi 7 agak sedikit mengalami keterlambatan. Tapi justru kami yakin isi MAWASS Edisi ini cukup dibutuhkan bagi wacana baru & wawasan iman kita. Miliki segera & simak isinya.

Senin, 04 Oktober 2010

Spiritualitas Aktivis Gereja

Artikel ini bukan hanya ditujukan bagi para aktivis (pengurus/pamong) gereja saja namun juga bagi segenap umat. Aktivis yang dimaksud adalah 'aktif' sebagai umat yang telah dibaptis secara katolik. Bukankah sejak kita dibaptis, kita telah dipanggil untuk mengikuti jejak Kristus sebagai juru penyelamat dan guru kehidupan kita? Persoalannya, apakah kita sudah meyakini dengan sepenuh hati atau setengah hati?

Masa Roman Pembaptisan
Baptis baru merupakan langkah awal, bukan tujuan akhir, kita semua tahu. Masa baptis adalah ibarat masa 'roman' atau 'bulan madu'. Pada saat dibaptis, entah sejak masa kanak-kanak (remaja, pemuda) atau sudah dewasa, kita terbuai dan hati kita berbunga-bunga serta bangga karena kita boleh mengenal Kristus sebagai Putra Allah yang menjelma menjadi manusia dan menebus dosa umat manusia. Oleh karena itu kita yakin dan dengan penuh kerelaan (tanpa paksaan dari pihak manapun) mau mengikuti ajaran-ajaran kasih Kristus sebagai jalan, kebenaran dan hidup.
Setelah beberapa saat kemudian menjalani hidup sebagai umat yang beragama (lebih baik lagi kalau 'beriman') katolik, ternyata ditemukan liku-liku hidup yang penuh dengan cobaan dan godaan. Hal ini wajar dan manusiawi sekali. Namun justeru di sinilah saat ujian hidup iman katolik yang sejati. Tuhan mendidik melalui berbagai peristiwa hidup manusiawi yang menimpa dan menempa kesetiaan iman, harapan dan kasih umatNya.
Tak terkecuali awam, imam atau suster/bruder sekalipun akan mengalami pasang-surut hidup beriman karena kita semua adalah manusia yang penuh keterbatasan dan mudah terjerumus pada kesalahan dan dosa insani. Hidup manusia memang multidimensional, mulai dari unsur jasmani, kejiwaan hingga rohani. Tak dapat dipungkiri bahwa manusia selalu mengalami sehat, cedera dan sakit dalam taraf ringan, sedang dan berat silih berganti selama hidupnya. Demikian pula dengan gejolak suasana hati atau kebatinan (=kejiwaan), kadang manusia merasa gembira dan bahagia namun tak jarang pula mengalami kesedihan yang berlarut-larut. Inilah jalan dan kenyataan hidup yang harus dialami, dihadapi dan dilalui oleh setiap manusia.

Ajakan Juruselamat dan Guru Kehidupan
Yesus pun mengalami hidup sebagai manusia biasa sehingga bisa memahami kesulitan hidup manusia dan menawarkan ajakan Juruselamat yang menenteramkan hati: “Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah padaKU, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan bebanKupun ringan.” (Mat 11:28-30).
Bila kita cermati dan simak lebih dalam lagi mengenai ajakan Yesus tersebut, terbersit (tersirat dan tersurat) bahwa manusia memiliki keterbatasan untuk menanggung beban hidup yang berat hingga letih lesu. Yesus menawarkan diri untuk datang menghadapNya dan berjanji akan memberikan kelegaan setelah mendengarkan curahan seluruh isi hati dan keluh kesah umatNya. Salah-satu caranya adalah melakukan 'adorasi' dengan kontemplasi di hadapan tahta Sakramen Mahakudus. Tahapan ini sudah tergolong pada tataran 'penyembuhan' spiritual.
Namun demikian Yesus tidak serta merta memberikan kelegaan dan penyembuhan secara langsung dan sesaat. Yesus mengajarkan dan menyarankan untuk bersikap lemah lembut dan rendah hati sehingga jiwa manusia akan mendapatkan ketenangan. Sikap lemah lembut bukan berarti 'mengalah' dan 'kalah'. Lebih jauh daripada itu yaitu sikap tenggang rasa dan tepo seliro (menempatkan diri sebagai pihak lain) baik terhadap diri sendiri dan orang lain untuk mawas diri. Dengan kata lain dianjurkan untuk menghindari sikap menang atau paling benar sendiri. Konsekuensinya, kita seyogyanya saling menghargai pribadi satu sama lain, bukan merendahkan orang lain dan diri sendiri, namun menerima diri sendiri dan orang lain apa adanya baik kelebihan maupun keterbatasannya. Dengan demikian Yesus mengajarkan dan menganjurkan sikap rendah hati, bukan sikap rendah diri yang pada saatnya akan melukai diri sendiri dan orang lain.
Selanjutnya Yesus menyampaikan pula kiat-kiat untuk menanggung beban hidup yang berat tanpa merasa terbeban, yakni dengan cara menghadapi setiap persoalan hidup bukan sebagai hambatan tapi justeru sebaliknya sebagai tantangan untuk maju. Akibatnya, beban hidup yang ditanggung itu terasa 'enak', tidak 'pahit' dan 'menyakitkan', tentu dalam konteks kematangan hidup rohani, bukan dari sudut pandang hidup jasmaniah dan kejiwaan. Selain itu beban hidup yang dipikul akan terasa 'ringan', dengan mengandaikan cara dan kebiasaan hidup 'baru' yang tidak menuruti hawa nafsu (jasmaniah dan kejiwaan) dan keinginan duniawi yang fana. Hanya ada satu pilihan hidup, yaitu mengabdi Allah atau 'mamon'.

Aral Melintang Kehidupan Aktivis Gereja
Umat katolik yang 'awam' (bukan imam atau suster/bruder) dihadapkan perimbangan antara aktivitas hidup profan dan gereja setiap harinya. Dalam arti, kaum awam disibukkan secara rutin setiap hari dengan kegiatan rumah-tangga (kebersihan, belanja, memasak, cuci pakaian dan semacamnya), berangkat kerja atau sekolah, kegiatan sosial kemasyarakatan atau ekskul (ekstra kurikulum, termasuk berbagai les privat). Hampir pasti dan dapat dikatakan rerata 80% waktu tersita pada kegiatan profan tersebut. Berarti, tinggal 20% waktu tersisa untuk kegiatan gereja, itupun sudah dalam kondisi lelah fisik dan mental.
Kebiasaan hidup sehari-hari tersebut dapat dimaklumi dan menggejala pada seluruh segi kehidupan, terlebih tuntutan jaman kini yang makin tinggi dan berat. Kenyataan hidup ini tentu menyita waktu dan perhatian seluruh umat manusia, termasuk kaum awam katolik. Lalu, bagaimana bisa diharapkan kehidupan iman terpelihara dan berkembang makin dewasa sementara kesibukan duniawi menghimpitnya? Repotnya, kaum awam katolik dituntut 100% katolik sejati sekaligus 100% hidup berkeluarga, mana mungkin?! Mana yang lebih diprioritaskan (didahulukan) antara kehidupan karir/pribadi, keluarga dan gereja? Idealnya, semua kepentingan seyogyanya dapat dipenuhi secara berimbang dan total. Bagaimana caranya dan apa dampaknya?
Persoalannya sekarang, justeru seiring makin berkembang teknologi transportasi dan komunikasi, manusia cenderung terpicu dan terpacu mengejar prestasi daripada relasi. Akibatnya, setiap keluarga rupanya makin merasakan kebahagiaan yang semu, damai tapi gersang, begitu lirik lagu menuturkannya, hubungan antar anggota keluarga makin renggang dan kurang akrab/hangat. Lalu, apa yang bisa diperbuat di tengah situasi dan kondisi yang penuh pertentangan batin ini?

Panggilan Hidup Menggereja
Jawabannya sebetulnya sudah ada dan sederhana sekali namun jarang disadari dan sulit untuk diterapkan, yakni hukum cinta kasih sebagai hukum yang utama mengatasi semua hukum yang lain. Mari kita simak dan renungkan kembali terus menerus jawaban Yesus terhadap pertanyaan ahli taurat dan orang-orang Saduki berikut ini: “Hukum manakah yang paling utama?” Jawab Yesus: “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama daripada kedua hukum ini.” (Mrk 12:29-31).
Sudah sangat Jelas pada jawaban Yesus yang telak tentang hukum cinta kasih yang sekaligus merupakan landasan hidup kita sebagai umat katolik. TUHAN harus dinomorsatukan dan didahulukan dalam dan daripada segala hal, bukan hanya 100% tapi bisa 1000% atau tak terhingga. Apakah kita telah memusatkan perhatian hanya kepada TUHAN dalam seluruh hidup kita sehari-hari? Ironisnya, TUHAN yang kita imani bersama sebagai Raja dan Pencipta Kehidupan dikasihi oleh umatNya (mohon maaf) dalam dan hanya dengan sisa-sisa waktu, tenaga, pikiran, hati, jiwa dan kekuatan manusiawi.
Mari kita renungkan bersama, termasuk penulis. Apakah kita telah hadir dalam setiap perayaan ekaristi minimal setiap hari minggu dengan sepenuh hati atau hanya karena kewajiban rutin semata? Apakah kita rajin menghadiri pertemuan doa dan pendalaman iman di tingkat lingkungan/wilayah setempat? Tidak jarang kita dengar bersama beberapa dalih tidak/terlambat hadir dengan alasan pulang kerja larut malam, anak sibuk belajar karena ujian, suasana doa menjemukan dan seterusnya.
Belum lagi alasan-alasan yang berkedok rohani, seperti rajin berdoa atau aktif di gereja tidak menjamin hidup suci, hidup menggereja juga dapat diwujudkan melalui kegiatan kerja atau sekolah – tidak selalu harus aktif di/ke gereja dan semacamnya. Sikap pribadi semacam ini tergolong kesombongan rohani. Memang benar: ora et labora! Berdoa sekaligus bekerja. Berdoa tanpa bekerja itu omong kosong, seperti iman tanpa perbuatan, atau ekstrimnya 'munafik'. Sebaliknya, bekerja tanpa dijiwai dengan doa itu kering dan gersang, ibarat badan tanpa jiwa dan roh, alias 'robot'. Lalu, mana yang dipilih: bukan berdoa dan bekerja yang timpang namun yang berimbang dan saling meneguhkan! Bagaimana wujud konkritnya?

Dipanggil Bersatu dan Berpadu
Mencuplik dari tema gerakan komunitas ME (Marriage Encounter) tingkat dunia pada tahun 2009 dan 2010, yakni 'called to be one' (dipanggil untuk bersatu) dan 'called by name' (dipanggil masing-masing pribadi secara unik), menarik untuk disimak dan diikuti. Dalam konteks hubungan pasutri (pasangan suami-isteri), dituturkan dalam Kitab Kejadian 2:24-25: “Sebab itu seorang laki- laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Mereka telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi tidak merasa malu”. Artinya, laki dan perempuan meninggalkan orangtuanya setelah menginjak dewasa untuk dipersatukan dalam kasih sebagai suami dan isteri. Mereka bukan lagi dua tetapi 'satu' karena Tuhan mempertemukan suami-isteri sebagai pendamping hidup yang saling mengasihi satu sama lain selamanya. Diharapkan hubungan suami-isteri dapat saling terbuka (tidak ada tedeng aling-aling dan hal yang dirahasiakan lagi di antara keduanya) sehingga sehati dalam cinta.
Demikian pula halnya dengan kita sebagai kaum awam, dipanggil bersama oleh Tuhan dalam ikatan cinta-kasih untuk dipertemukan dan dipersatukan melalui kegiatan dan kehidupan menggereja sesuai dengan karakter dan talenta masing-masing. Rajin dan aktif ke gereja minimal dalam menghadiri misa setiap hari minggu dan doa/pendalaman iman di lingkungan/wilayah, lebih baik lagi jika bersedia dan rela ikut berperanserta sebagai pamong/pengurus umat, bukan karena sudah suci namun justeru sebaliknya kita mempersembahkan diri untuk selalu di-suci-kan bersama sesama umat.
Sebagaimana Yesus bersabda tentang menasihati sesama saudara: “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” (Mat 18:20). Dalam kidung pujian Misa Kamis Putih (PS 498/499) sering dimadahkan pula lagu 'Jika ada cinta kasih, hadirlah Tuhan' ('Ubi caritas est vera, Deus ibi est').
Terkadang kita sebagai aktivis gereja masih mudah terpeleset dan terjerumus pada kebiasaan buruk manusiawi. Meski sudah rajin dan aktif di/ke gereja, bahkan sudah berperanserta sebagai pamong/pengurus gereja (putra altar, pembina, katekis, guru agama, ketua DPP/wilayah/lingkungan, ketua seksi, dirigen/anggota koor, organis, pemazmur, lektor, asisten imam, kolektan/persembahan, tata-tertib, koster, pengurus kelompok doa/ormas/gerakan dan seterusnya) tidak mustahil dapat terjerembab dalam skandal hubungan pernikahan, narkoba, keuangan, kekuasaan, premanisme dan segudang skandal lainnya. Tidak mengherankan, justeru makin dekat hubungan kita dengan Tuhan makin kuat cobaan dan godaan
Kiatnya hanya satu, yakni dibutuhkan ketahanan iman yang diperoleh dari persekutuan sesama umat beriman (awam dan imam serta suster/bruder) untuk saling meneguhkan satu sama lain dalam kasih Tuhan melalui kegiatan dan kehidupan menggereja. Rahmat kasih Tuhan melimpah bagi kita semua. Amin. ( A.J. Tjahjoanggoro )