Senin, 04 Oktober 2010

Spiritualitas Aktivis Gereja

Artikel ini bukan hanya ditujukan bagi para aktivis (pengurus/pamong) gereja saja namun juga bagi segenap umat. Aktivis yang dimaksud adalah 'aktif' sebagai umat yang telah dibaptis secara katolik. Bukankah sejak kita dibaptis, kita telah dipanggil untuk mengikuti jejak Kristus sebagai juru penyelamat dan guru kehidupan kita? Persoalannya, apakah kita sudah meyakini dengan sepenuh hati atau setengah hati?

Masa Roman Pembaptisan
Baptis baru merupakan langkah awal, bukan tujuan akhir, kita semua tahu. Masa baptis adalah ibarat masa 'roman' atau 'bulan madu'. Pada saat dibaptis, entah sejak masa kanak-kanak (remaja, pemuda) atau sudah dewasa, kita terbuai dan hati kita berbunga-bunga serta bangga karena kita boleh mengenal Kristus sebagai Putra Allah yang menjelma menjadi manusia dan menebus dosa umat manusia. Oleh karena itu kita yakin dan dengan penuh kerelaan (tanpa paksaan dari pihak manapun) mau mengikuti ajaran-ajaran kasih Kristus sebagai jalan, kebenaran dan hidup.
Setelah beberapa saat kemudian menjalani hidup sebagai umat yang beragama (lebih baik lagi kalau 'beriman') katolik, ternyata ditemukan liku-liku hidup yang penuh dengan cobaan dan godaan. Hal ini wajar dan manusiawi sekali. Namun justeru di sinilah saat ujian hidup iman katolik yang sejati. Tuhan mendidik melalui berbagai peristiwa hidup manusiawi yang menimpa dan menempa kesetiaan iman, harapan dan kasih umatNya.
Tak terkecuali awam, imam atau suster/bruder sekalipun akan mengalami pasang-surut hidup beriman karena kita semua adalah manusia yang penuh keterbatasan dan mudah terjerumus pada kesalahan dan dosa insani. Hidup manusia memang multidimensional, mulai dari unsur jasmani, kejiwaan hingga rohani. Tak dapat dipungkiri bahwa manusia selalu mengalami sehat, cedera dan sakit dalam taraf ringan, sedang dan berat silih berganti selama hidupnya. Demikian pula dengan gejolak suasana hati atau kebatinan (=kejiwaan), kadang manusia merasa gembira dan bahagia namun tak jarang pula mengalami kesedihan yang berlarut-larut. Inilah jalan dan kenyataan hidup yang harus dialami, dihadapi dan dilalui oleh setiap manusia.

Ajakan Juruselamat dan Guru Kehidupan
Yesus pun mengalami hidup sebagai manusia biasa sehingga bisa memahami kesulitan hidup manusia dan menawarkan ajakan Juruselamat yang menenteramkan hati: “Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah padaKU, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan bebanKupun ringan.” (Mat 11:28-30).
Bila kita cermati dan simak lebih dalam lagi mengenai ajakan Yesus tersebut, terbersit (tersirat dan tersurat) bahwa manusia memiliki keterbatasan untuk menanggung beban hidup yang berat hingga letih lesu. Yesus menawarkan diri untuk datang menghadapNya dan berjanji akan memberikan kelegaan setelah mendengarkan curahan seluruh isi hati dan keluh kesah umatNya. Salah-satu caranya adalah melakukan 'adorasi' dengan kontemplasi di hadapan tahta Sakramen Mahakudus. Tahapan ini sudah tergolong pada tataran 'penyembuhan' spiritual.
Namun demikian Yesus tidak serta merta memberikan kelegaan dan penyembuhan secara langsung dan sesaat. Yesus mengajarkan dan menyarankan untuk bersikap lemah lembut dan rendah hati sehingga jiwa manusia akan mendapatkan ketenangan. Sikap lemah lembut bukan berarti 'mengalah' dan 'kalah'. Lebih jauh daripada itu yaitu sikap tenggang rasa dan tepo seliro (menempatkan diri sebagai pihak lain) baik terhadap diri sendiri dan orang lain untuk mawas diri. Dengan kata lain dianjurkan untuk menghindari sikap menang atau paling benar sendiri. Konsekuensinya, kita seyogyanya saling menghargai pribadi satu sama lain, bukan merendahkan orang lain dan diri sendiri, namun menerima diri sendiri dan orang lain apa adanya baik kelebihan maupun keterbatasannya. Dengan demikian Yesus mengajarkan dan menganjurkan sikap rendah hati, bukan sikap rendah diri yang pada saatnya akan melukai diri sendiri dan orang lain.
Selanjutnya Yesus menyampaikan pula kiat-kiat untuk menanggung beban hidup yang berat tanpa merasa terbeban, yakni dengan cara menghadapi setiap persoalan hidup bukan sebagai hambatan tapi justeru sebaliknya sebagai tantangan untuk maju. Akibatnya, beban hidup yang ditanggung itu terasa 'enak', tidak 'pahit' dan 'menyakitkan', tentu dalam konteks kematangan hidup rohani, bukan dari sudut pandang hidup jasmaniah dan kejiwaan. Selain itu beban hidup yang dipikul akan terasa 'ringan', dengan mengandaikan cara dan kebiasaan hidup 'baru' yang tidak menuruti hawa nafsu (jasmaniah dan kejiwaan) dan keinginan duniawi yang fana. Hanya ada satu pilihan hidup, yaitu mengabdi Allah atau 'mamon'.

Aral Melintang Kehidupan Aktivis Gereja
Umat katolik yang 'awam' (bukan imam atau suster/bruder) dihadapkan perimbangan antara aktivitas hidup profan dan gereja setiap harinya. Dalam arti, kaum awam disibukkan secara rutin setiap hari dengan kegiatan rumah-tangga (kebersihan, belanja, memasak, cuci pakaian dan semacamnya), berangkat kerja atau sekolah, kegiatan sosial kemasyarakatan atau ekskul (ekstra kurikulum, termasuk berbagai les privat). Hampir pasti dan dapat dikatakan rerata 80% waktu tersita pada kegiatan profan tersebut. Berarti, tinggal 20% waktu tersisa untuk kegiatan gereja, itupun sudah dalam kondisi lelah fisik dan mental.
Kebiasaan hidup sehari-hari tersebut dapat dimaklumi dan menggejala pada seluruh segi kehidupan, terlebih tuntutan jaman kini yang makin tinggi dan berat. Kenyataan hidup ini tentu menyita waktu dan perhatian seluruh umat manusia, termasuk kaum awam katolik. Lalu, bagaimana bisa diharapkan kehidupan iman terpelihara dan berkembang makin dewasa sementara kesibukan duniawi menghimpitnya? Repotnya, kaum awam katolik dituntut 100% katolik sejati sekaligus 100% hidup berkeluarga, mana mungkin?! Mana yang lebih diprioritaskan (didahulukan) antara kehidupan karir/pribadi, keluarga dan gereja? Idealnya, semua kepentingan seyogyanya dapat dipenuhi secara berimbang dan total. Bagaimana caranya dan apa dampaknya?
Persoalannya sekarang, justeru seiring makin berkembang teknologi transportasi dan komunikasi, manusia cenderung terpicu dan terpacu mengejar prestasi daripada relasi. Akibatnya, setiap keluarga rupanya makin merasakan kebahagiaan yang semu, damai tapi gersang, begitu lirik lagu menuturkannya, hubungan antar anggota keluarga makin renggang dan kurang akrab/hangat. Lalu, apa yang bisa diperbuat di tengah situasi dan kondisi yang penuh pertentangan batin ini?

Panggilan Hidup Menggereja
Jawabannya sebetulnya sudah ada dan sederhana sekali namun jarang disadari dan sulit untuk diterapkan, yakni hukum cinta kasih sebagai hukum yang utama mengatasi semua hukum yang lain. Mari kita simak dan renungkan kembali terus menerus jawaban Yesus terhadap pertanyaan ahli taurat dan orang-orang Saduki berikut ini: “Hukum manakah yang paling utama?” Jawab Yesus: “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama daripada kedua hukum ini.” (Mrk 12:29-31).
Sudah sangat Jelas pada jawaban Yesus yang telak tentang hukum cinta kasih yang sekaligus merupakan landasan hidup kita sebagai umat katolik. TUHAN harus dinomorsatukan dan didahulukan dalam dan daripada segala hal, bukan hanya 100% tapi bisa 1000% atau tak terhingga. Apakah kita telah memusatkan perhatian hanya kepada TUHAN dalam seluruh hidup kita sehari-hari? Ironisnya, TUHAN yang kita imani bersama sebagai Raja dan Pencipta Kehidupan dikasihi oleh umatNya (mohon maaf) dalam dan hanya dengan sisa-sisa waktu, tenaga, pikiran, hati, jiwa dan kekuatan manusiawi.
Mari kita renungkan bersama, termasuk penulis. Apakah kita telah hadir dalam setiap perayaan ekaristi minimal setiap hari minggu dengan sepenuh hati atau hanya karena kewajiban rutin semata? Apakah kita rajin menghadiri pertemuan doa dan pendalaman iman di tingkat lingkungan/wilayah setempat? Tidak jarang kita dengar bersama beberapa dalih tidak/terlambat hadir dengan alasan pulang kerja larut malam, anak sibuk belajar karena ujian, suasana doa menjemukan dan seterusnya.
Belum lagi alasan-alasan yang berkedok rohani, seperti rajin berdoa atau aktif di gereja tidak menjamin hidup suci, hidup menggereja juga dapat diwujudkan melalui kegiatan kerja atau sekolah – tidak selalu harus aktif di/ke gereja dan semacamnya. Sikap pribadi semacam ini tergolong kesombongan rohani. Memang benar: ora et labora! Berdoa sekaligus bekerja. Berdoa tanpa bekerja itu omong kosong, seperti iman tanpa perbuatan, atau ekstrimnya 'munafik'. Sebaliknya, bekerja tanpa dijiwai dengan doa itu kering dan gersang, ibarat badan tanpa jiwa dan roh, alias 'robot'. Lalu, mana yang dipilih: bukan berdoa dan bekerja yang timpang namun yang berimbang dan saling meneguhkan! Bagaimana wujud konkritnya?

Dipanggil Bersatu dan Berpadu
Mencuplik dari tema gerakan komunitas ME (Marriage Encounter) tingkat dunia pada tahun 2009 dan 2010, yakni 'called to be one' (dipanggil untuk bersatu) dan 'called by name' (dipanggil masing-masing pribadi secara unik), menarik untuk disimak dan diikuti. Dalam konteks hubungan pasutri (pasangan suami-isteri), dituturkan dalam Kitab Kejadian 2:24-25: “Sebab itu seorang laki- laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Mereka telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi tidak merasa malu”. Artinya, laki dan perempuan meninggalkan orangtuanya setelah menginjak dewasa untuk dipersatukan dalam kasih sebagai suami dan isteri. Mereka bukan lagi dua tetapi 'satu' karena Tuhan mempertemukan suami-isteri sebagai pendamping hidup yang saling mengasihi satu sama lain selamanya. Diharapkan hubungan suami-isteri dapat saling terbuka (tidak ada tedeng aling-aling dan hal yang dirahasiakan lagi di antara keduanya) sehingga sehati dalam cinta.
Demikian pula halnya dengan kita sebagai kaum awam, dipanggil bersama oleh Tuhan dalam ikatan cinta-kasih untuk dipertemukan dan dipersatukan melalui kegiatan dan kehidupan menggereja sesuai dengan karakter dan talenta masing-masing. Rajin dan aktif ke gereja minimal dalam menghadiri misa setiap hari minggu dan doa/pendalaman iman di lingkungan/wilayah, lebih baik lagi jika bersedia dan rela ikut berperanserta sebagai pamong/pengurus umat, bukan karena sudah suci namun justeru sebaliknya kita mempersembahkan diri untuk selalu di-suci-kan bersama sesama umat.
Sebagaimana Yesus bersabda tentang menasihati sesama saudara: “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” (Mat 18:20). Dalam kidung pujian Misa Kamis Putih (PS 498/499) sering dimadahkan pula lagu 'Jika ada cinta kasih, hadirlah Tuhan' ('Ubi caritas est vera, Deus ibi est').
Terkadang kita sebagai aktivis gereja masih mudah terpeleset dan terjerumus pada kebiasaan buruk manusiawi. Meski sudah rajin dan aktif di/ke gereja, bahkan sudah berperanserta sebagai pamong/pengurus gereja (putra altar, pembina, katekis, guru agama, ketua DPP/wilayah/lingkungan, ketua seksi, dirigen/anggota koor, organis, pemazmur, lektor, asisten imam, kolektan/persembahan, tata-tertib, koster, pengurus kelompok doa/ormas/gerakan dan seterusnya) tidak mustahil dapat terjerembab dalam skandal hubungan pernikahan, narkoba, keuangan, kekuasaan, premanisme dan segudang skandal lainnya. Tidak mengherankan, justeru makin dekat hubungan kita dengan Tuhan makin kuat cobaan dan godaan
Kiatnya hanya satu, yakni dibutuhkan ketahanan iman yang diperoleh dari persekutuan sesama umat beriman (awam dan imam serta suster/bruder) untuk saling meneguhkan satu sama lain dalam kasih Tuhan melalui kegiatan dan kehidupan menggereja. Rahmat kasih Tuhan melimpah bagi kita semua. Amin. ( A.J. Tjahjoanggoro )

Tidak ada komentar: