Kamis, 05 Mei 2011

CUKUP 8 HARI untuk MENJUNGKIR-BALIKKAN DUNIA

PRAWACANA

Sepanjang peradaban manusia yang bisa kita lacak bukti-buktinya, ada banyak peristiwa yang membawa perubahan yang mencolok (signifikan) bagi kehidupan manusia. Peristiwa itu bisa karena peritiwa alam, mulai pra-zaman es, sampai melelehnya es yang menenggelamkan beberapa bagian bumi; ataupun peristiwa meletusnya gunung berapi: Krakatau misalnya, yang dampaknya terasa sampai ke Amerika; atau letusan yang mengubur kota Pompei.
Atau juga yang karena “tindakan” manusia, misalnya: ekspansi Kerajaan Romawi ke sekian banyak belahan bumi yang jejak budayanya masih terasa hingga saat ini; atau pembangunan Tembok China” yang spektakuler; atapun peristiwa Holocaust, yang menyebabkan sekian juta orang Yahudi kehilangan nyawa. Ada peristiwa Kemerdekaan Negara Amerika, yang hawa-kekuasaannya terasa ke seluruh penjuru bumi hingga saat ini. Ada pula peristiwa pengeboman kota Hiroshima dan Nagasaki dalam Perang Dunia II, yang pada saat itu dianggap bisa menahan dominasi kekuatan militer Jepang di dunia ini.

Di antara sekian banyak peristiwa “karena manusia” itu, ada satu peristiwa unik yang tak-tertandingi, yang melibatkan “seorang manusia” bernama: Yesus bin Yusuf.


PERISTIWA YESUS

Sejarah mencatat (bukan fiktif, bukan imajiner), bahwa di daerah yang kini bernama Palestina, pada sekitar abad I, lahir seorang yang “diberi nama”: YESUS. Dari segi manusiawi, tidak ada yang istimewa dari seorang Yesus, sampai saat menjelang wafat-Nya. Baru sekitar 3 tahun menjelang wafat-Nya itulah orang baru melihat dan memperhatikan: siapakah “orang yang benama Yesus ini”. Dia yang dikenal sebagai seorang “Rabi, Guru”, Dia mulai mengajar.

Ternyata apa yang diajarkan-Nya bisa mendatangkan “hawa / semangat baru” bagi bangsa Yahudi. Dia disanjung-sanjung sebagai: “Sang Pembebas”, yang akan membawa kebebasan dan kemerdekaan bagi mereka yang saat itu terjajah oleh Kekaisaran Romawi. Bahkan, dari segi keagamaan, dengan merujuk pada nubuat para nabi, Yesus dipercaya sebagai Sang Mesias yang dijanjikan oleh Allah.

Keberadaan Yesus itu, pada saat yang sama, justru “contra-productive” bagi para ahli agama, Ahli Taurat dan orang Farisi, yang takut akan kehilangan “status quo”, karena apa yang diajarkan oleh Yesus dikhawatirkan akan menggerogoti posisi (dan kenyamanan) mereka sebagai orang / kelompok yang ”harus dihormati” oleh orang-orang Yahudi.

Kiprah Yesus dan keterusikan para Ahli Taurat serta orang Farisi itupun akhirnya mau tidak mau melibatkan penguasa: Herodes dan Pontius Pilatus. Mereka berkepentingan, agar tidak terjadi pemberontakan di wilayah kerja mereka, yang bisa membahayakan kedudukan / kekuasaan mereka.

Pada menjelang “puncak”, kekuatan spiritual (kaum agamawan) dan kekuatan sekuler-duniawi (Romawi) “bekerjasama” untuk melenyapkan sosok Yesus. Durasi dari proses puncak peristiwa itu dapat dikatakan terjadi hanya 8 hari, suatu masa yang sangat pendek untuk suatu peristiwa dramatis yang dampaknya “menjungkir-balikkan” dunia.

Cukup 8 hari. Dari hari Pertama (kita kenal dengan: “Minggu Palma”), di mana Yesus disambut sebagai Raja, Putra Daud; bergeser ke hari ke 6, Jumat, di mana orang-orang yang sama telah menuntut Kematian-Nya, bahkan kematian yang hina, bak seorang penjahat; sampai pada Kebangkitan-Nya, pada Minggu Paskah, hari kedelapan.


DARAH MARTIR yang MENYUBURKAN BENIH IMAN

Yesus telah wafat, dan Dia sudah bangkit. Namun itu bukan berarti semua orang yang mendengar berita kebangkitan mau menerima dan percaya. Bahkan para pewarta iman tentang “Khabar Gembira, Khabar Keselamatan” itu dikucilkan, dikejar-kejar, bahkan sampai mengikuti jejak Sang Guru: disiksa dan dibunuh.

Nyawa Stefanus-pun telah melayang demi iman dan kesaksiannya. Ia tercatat sebagai martir yang pertama. Kemartiran Stefanus membuat penyebaran yang lebih cepat dari pengikut Yesus ke luar wilayah Yerusalem, bahkan ke luar daerah Palestina.

Saulus, seorang Farisi dari garis keras, memburu pengikut Kristus sampai di manapun tempat yang mampu ia jangkau. Jauhnya jarak Yerusalem ke Damaskus-pun bukan penghalang bagi niatnya untuk menangkap pengikut Yesus.

Titik-balik yang dramatis terjadi pada diri Saulus. Metanoia total membuatnya menjadi “Paulus, Sang Rasul Agung” yang tidak kenal lelah, yang tidak kenal takut, demi imannya akan Kristus Yesus yang telah bangkit. Paulus bahkan menjadi “rasul bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi”. Bersama Petrus, Sang Batu Karang, Paulus dipandang sebagai “Sokoguru Gereja”. Semangatnya ditularkan kepada semua pengikut Yesus, baik dengan kedatangannya secara fisik mengunjungi mereka, maupun dengan surat-suratnya yang tajam manakala ia tidak dapat datang untuk menguatkan dan menghibur saudara-saudaranya dalam iman, pada saat mereka memerlukan. Perjuangannya adalah perjuangan dengan segenap hati, segenap tenaga, segenap pikiran dan segenap hidupnya. Perjuangannya adalah perjuangan yang menantang maut, dan berakhir dengan mulia di Roma. Darahnya telah tertumpah di “ujung dunia”. Kemartiran Paulus tidak membuat surut semangat dan iman pengikut Yesus dari Nazaret, malahan semakin membuatnya berkorbar.
Darah para martir telah tertumpah. Tapi itu tidak sia-sia. Darah para martir itu telah menyuburkan benih iman Gereja sepanjang masa.

GEREJA SEBAGAI SUATU ORGANISMA

Dengan dasar iman yang sama, para pengikut Kristus bersatu, dalam ikatan persaudaraan. Mereka menamakan diri sebagai: Kristen (Chritianos = milik Kristus).
Ikatan itu terus tumbuh, bukan sekedar sebagai suatu organisasi, melainkan sebagai organisma, yang selalu dan terus tumbuh dan berkembang. Bahkan tumbuh-kembang-nya tidak terhambat oleh penyesat-penyesat (bidaah) sepanjang zaman, kekuasaan politik, maupun perusakan-perusakan, baik dari luar maupun dari dalam. Seolah-olah hambatan itu justru membuat organisma itu semakin menjadi lebih dewasa, lebih tangguh.

Dua peristiwa besar di dalam organisma, memang pernah menjadi peristiwa yang menyakitkan. Skisma Timur yang bermula dari Konsili Kalsedon (541), berpuncak pada “perpisahaan” pada tahun 1054, seolah memunculkan “dua wajah Kekristenan”; Kristen Barat dan Kristen Timur.
Yang lainnya: Gerakan Reformasi yang dimotori oleh Martin Luther (1517), dengan “95 Protes”nya, seolah menampar wajah organisma itu. Gerakan Reformasi melahirkan “agama baru”, yang tidak lagi berada di bawah otoritas Gereja Roma. Dan hingga saat ini “Gereja Protestan” berikut seluruh perkembangan kelompok (denominsasi) yang muncul darinya, tetap sebagai “lembaga yang terpisah” dari Gereja yang “Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik”.


ECCLESIA SEMPER REFORMANDA

Perkembangan zaman telah membawa banyak perubahan pada pola pikir serta peradaban manusia. Seiring dengan itu, Gereja Krists tetap eksis. Tentu, dengan segala perjuangannya. Perjuangan-perjuangan Gereja itu terus berlangsung, mulai dari Gereja Perdana, era Bapa Gereja, abad pertengahan, masa polaritas kekuatan politik Timur – Barat, yang telah mulai nampak pada akhir abad XIX, sampai zaman post-modern sekarang ini.

Pola hidup dan cara pandang manusia (life-style; falsafah hidup) pun menjadi anak zamannya. Relativisme, Hedonisme dan sejenisnya, di sisi privat; bersanding dengan: komunisme; chauvinistime serta liberalime di ranah publik.

Bagaimana “agama salib” yang mengarahkan imannya pada “sengsara, wafat dan kebangkitan” bisa mampu bertahan di tengah aneka pola hidup seperti di atas?
Tentu itu bukan hal yang mudah.
Gereja, sebagai satu organisma juga harus mau, sanggup untuk berubah dan mengubah paradigmanya, senantiasa dan terus-menerus, tanpa mengubah dasar dan nilai hakiki imannya. Ecclesia semper Reformanda.

GEREJA BERHADAPAN DENGAN MULTI-NILAI

Gereja, sebagai persekutuan umat Allah, bukan hanya “mau” berubah”. Lebih dari itu, tidak dapat disangkal, bahwa sampai saat ini Gereja masih dianggap sebagai suatu kekuatan yang mempunyai “nilai tawar” yang sangat tinggi, baik dalam ranah moralitas maupun politik.

Runtuhnya komunisme pada abad XX tidak terlepas dari peranan Gereja. Gereja juga menjadi “garda” yang secara frontal berhadapan dengan para pencinta “kebebasan tanpa batas”. Perkawinan sejenis (homo, lesbian) tidak pernah mendapat restu, bahkan ditentang oleh Gereja, sehingga perkembangan idealisme mereka terhambat.
Di pihak lain, hegemoni politik, yang semata-mata berdasarkan kekuatan baik ekonomi maupun persenjataan juga merasa mendapat hambatan dari Gereja.
Penelitian-peneltian di bidang ilmu pengetahuanpun seolah diawasi oleh Gereja.

Dihambat, tidak direstui, diawasi. Itulah situasi nilai-nilai dunia modern berhadapan dengan Gereja.
Apakah memang demikian?

Mari kita berpikir jernih.
Apa yang dilakukan Gereja pasti tidak bergeser dari apa yang diajarkan oleh Yesus. Elastisitas dalam prinsip “Ecclesia semper reformanda”, tidak pernah pernah membuat Gereja meninggalkan harkat, esensi dan berharganya hidup manusia, terutama di bidang moral.
Itulah yang disuarakan dan senantiasa diperjuangkan oleh Gereja.

Ide-ide komunisme yang pernah berkembang telah terpatahkan dengan adanya campur-tangan Gereja.
Prinsip “ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan” (misalnya: dalam Teori Darwin, Klonning, Keluarga Berencana) harus merevisi pandangannya, karena Gereja tetap memperhadap-kannya dengan moralitas.
Pendewaan ilmu pengetahuan dan rasionalitas juga tersandung oleh Gereja.
Invasi militer Amerika Serikat ke dunia Timur Tengah pun terganjal oleh Gereja.
Nilai-nilai “kemakmuran dan keadilan” yang diagendakan oleh negara-negara maju-pun dijungkir-balikkan oleh Gereja.
CUKUP 8 HARI . . . .

“Peristiwa Yesus” berlangsung sangat singkat, hanya 8 hari. Tapi dampaknya sangat terasa bahkan hingga saat ini. Dari “peristiwa Yesus” itu lahirlah “Gereja” yang sampai sekarang tetap eksis, meskipun melalui pasang-surut yang seringkali tidak terduga.

“Keberadaan” Gereja itu bukanlah untuk dirinya sendiri. Keberadaan Gereja, sejak awal pada masa dominasi kekuasaan Romawi, hingga sekarang, pada zaman post-modern ini, ini tetap diperhitungkan, bahkan sangat mewarnai segi sosial-politik kehidupan bernegara, juga sangat berpengaruh pada kehidupan moral pribadi manusia. Banyak nilai-nilai duniawi-sekularisme yang telah dibangun dan diperjuangkan, akhirnya dipatahkan dan dijungkir-balikkan oleh Gereja.

Ada satu hal penting yang sangat perlu kita perhatikan. Nilai-nilai hedonisme, relativisme, atau isme-isme duniawi yang lain, ternyata juga telah merasuki jiwa dan pola hidup umat, anggota Gereja itu sendiri. Hal itu merupakan “perusakan dari dalam” pada era post-modern ini. Kekuasaan uang, misalnya, seringkali telah menisbikan iman dan ajaran. Ini adalah sa;ah satu wajah perjuangan Gereja.

Perlawanan selalu berasal dari luar dan dari dalam, mulai dari masa Gereja Perdana, sampai ke Gereja post-modern ini. Namun demikian, kita melihat bukti nyata, bahwa Gereja masih (dan pasti akan terus) eksis.
Memperhatikan hal ini, mau tidak mau kita harus menyadari, bahwa Gereja tidak berjalan dengan kekuatan duniawi. Ada kekuatan lain yang mendampingi Gereja. Dan bagi kita, tentu itu bukan sesuatu yang sulit dipahami, bukan juga suatu yang aneh. Tentu kita masih ingat apa yang dikatakan oleh Yesus, bahwa Gereja-Nya adalah Gereja yang didirikan di atas batu karang. Dan tentu kita mengimani, bahwa Dia akan menyertai kita, Gereja-Nya, sampai ke akhir zaman, sampai Dia datang kembali.
Dengan iman itu, Gereja tetap mewartakan Khabar Gembira, tentang Keselamatan yang datang dari Dia, Sang Pemilik.

AKTUALISASI

Akhirnya, kita perlu menyadari, bahwa kita, masing-masing dan semua, adalah Gereja. Gereja bukan hanya biarawan-biarawati,pastor, uskup ataupun Paus saja. Maka, perjuangan Gereja adalah perjuangan kita semua. Kita masing-masing dan semua. Maka, setiap jiwa Kristen yang lemah berarti melemahkan perjuangan Gereja. Dan juga, setiap jiwa Kristen yang tidak menghayati spiritualitas Kristiani, adalah pengeroposan dan penggerogotan organisma Gereja.

Dalam beberapa waktu terakhir ini, Gereja merayakan Hari Raya Paskah, PUNCAK Iman, dan Puncak Liturgi Gereja.
Dimulai dari Masa Prapaskah, masa Paskah hendaknya menjadi semangat baru bagi kita, mengingat kembali perjuangan, penderitaan, dan pengorbanan total Sang Guru, sampai wafat-Nya di kayu Salib.
Dan hendaknya Kebangkitan-Nya senantiasa menyuburkan harapan kita dalam mengikuti Dia.

Salib, lambang kehinaan, telah dijungkir-balikkan-Nya menjadi Tanda Mulia.
Dan di alam nyata, alam realita ini, dengan kesetiaan dalam mengikuti-Nya, seharusnya “Penyangkalan diri” kita mampu menjungkir-balikkan nilai-nilai “wajar” yang “ditoleransi” oleh masyarakat post-modern ini: egoisme, kesombongan individal, keangkara-murkaan.
Dan semangat berkorban serta melayani, seharusnya mampu menjungkir-baikkan tuntutan untuk dilayani dan keangkuhan diri.

REFLEKSI

Masihkah kita menghayati, bahwa penyangkalan diri adalah lebih mulia daripada egoisme?
Masihkah kita menyadari bahwa Salib Kayu lebih berharga daripada sebongkah emas-berlian?
Masihkah kita mengimani bahwa Kebangkitan adalah bagian dari Sengsara dan Wafat?
Masihkah kita berjalan mengikuti Yesus, bukan hanya melihat-Nya dari jauh saja, yang menghindar dan menyimpang di kala menghadapi kesulitan, penderitaan dan kepedulian kepada sesama?

Kita telah diselamatkan, kita telah ditebus, kita telah menjadi milik-Nya. Tiada balas-jasa yang layak yang dapat kita persembahkan bagi Dia.
Sedikit yang mau dan mampu kita lakukan bagi orang lain, hanyalah sekedar sebagai ucapan terimakasih kita kepada-Nya, BUKAN SEBAGAI BALAS-JASA, BUKAN JUGA SEBAGAI NILAI BAYAR.

Deo Gratias, Terimakasih Tuhan.
Masa Paskah, (Filipus SS.)

Tidak ada komentar: